NINTH - PASAR MALAM

422 26 3
                                    

Langit berubah menjadi jingga ketika Nadir sampai di pantai.

Nadir menduduki ayunan yang masih kokoh menampung badannnya, padahal umur ayunan tersebut sudah lama sekali. Entah siapa yang memasang, yang jelas dari pertama kalinya Nadir datang ke pantai ini, ayunan itu sudah terpasang di sana.

Sembari menikmati suasana pantai, Nadir menghidupkan rokoknya. Menghirup rokok dalam lalu menghembuskannya. Tidak ada yang berubah sedikitpun dari pantai itu ternyata. Oh, sepertinya ia salah. Ada yang berubah.

Dia sendirian, tidak dengan sahabat kecilnya.

Sudah sangat lama, dan Nadir masih belum bisa menemukannya.

Nadir pernah mencoba mencari, namun dia kehilangan jejak. Panti Asuhan tempatnya tinggal dahulu sudah rata dengan tanah. Tidak ada yang bisa mendeskripsikan perasaannya saat itu, dia kacau. Satu-satunya harapan untuknya bisa bertemu dengan sahabat kecilnya itu lenyap dan Nadir kebingungan. Dia tidak punya cara apapun untuk mencari, tidak ada sama sekali.

Alam semesta ini terlalu luas untuknya mencari tanpa ada petunjuk sedikitpun.

Mungkin saat itu usahanya terlalu kecil, jadi untuk kali ini dia akan mencoba lagi. Begitulah kenapa dia datang kembali ke Jakarta.

Berharap dia bisa menemukan sahabatnya. Entah bagaimana semesta bekerja, semoga dengan cara yang indah.

Memikirkan sahabatnya itu membuat Nadir jadi mengingat teman barunya, Nayya. Nama mereka sama, bukan hanya nama sebenarnya ada beberapa kemiripan lain seperti mata yang indah dan senyum yang baru disadari Nadir.

Cara Nayya tersenyum sama dengan bagaimana cara sahabat kecilnya itu tersenyum.

Terkadang, Nadir jadi membayangkan berbicara dengan sahabat kecilnya saat berbicara dengan Nayya.

Atau, mereka memang orang yang sama?

Nadir tidak bisa memastikan itu, terlalu dini untuk menyimpulkannya sekarang, masih abu-abu.

***

"Mau langsung ke kafe?" tanya Nadir begitu bel pulang sekolah berbunyi.

Nayya mengangguk sembari membereskan barang-barangnya untuk dimasukkan ke dalam tas.

"Bareng aja, Aku sekalian mau ke sana juga."

Nayya memicingkan matanya, "Kok diliat-liat kamu hampir setiap hari ke sana, sih?"

Nadir yang ditanya seperti itu mendadak kikuk, dia bingung menjawabnya selain dia juga tidak tahu jawabannya. Jika dilihat-lihat, seminggu belakangan ini dia jadi intens pergi ke sana.

Nadir hanya merasa senang datang ke sana. "Tempatnya asik." Jawabnya bohong.

Anggukan kepala Nayya menjadi respon atas jawaban lelaki itu.

Mereka kemudian jalan beriringan menuju parkiran sekolah untuk mengambil sepeda motor milik lelaki itu. Parkiran masih terbilang ramai, beberapa pasang mata menatap mereka dengan pandangan menyelidik. Hal itu membuatnya tidak nyaman sama sekali, dia benci tatapan-tatapan itu.

Itulah alasan kenapa Nayya sering menunggu beberapa menit di dalam kelas, menunggu susasana sekolah sepi sebelum beranjak pulang. Menurut Nayya, menunggu adalah opsi paling baik daripada harus bertemu dengan lautan manusia yang berbondong-bondong menuju gerbang sekolah. Jadi, yang dilakukan Nayya sekarang hanya menundukkan kepalanya sembari menunggu Nadir mengeluarkan motornya yang terpakir di barisan depan.

UNDERCOVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang