Nayya pernah merasakaan perasaan ini sebelumnya, perasaan ditinggalkan oleh orang-orang terdekatnya. Seharusnya alasan itu cukup untuk membuatnya tidak terkejut lagi, jika menemukan kejadian serupa terulang.
Semua bisa pergi, semua bisa menghilang.
Tapi anehnya perasaan sakit mendekapnya erat melihat punggung lelaki itu menjauh. Apa mungkin rasanya kali ini berbeda karena perginya tanpa alasan?
Seharusnya Nayya mengikuti kata hatinya saat lelaki itu mendekat dan menawarkan cahaya.
Seharusnya Nayya tetap pada pendiriannya untuk tidak menggantungkan harapan pada siapapun lagi, sehingga dia tidak punya alasan untuk kembali sakit.
Karena jujur, di dasar hati terdalamnya Nayya mulai menggantungkan harapannya.
Nadir datang membawa matahari, menerangi gelapnya hidup Nayya yang hampir mati. Namun, ke mana cahaya itu pergi?
Ke mana lagi Nayya perlu mencari?
Atau dia memang ditakdirkan hidup sendiri?
Nayya menghembuskan nafasnya berat, berusaha mengurangi sesak di dadanya lantas menarik tasnya keluar dari kelas.
Menemui seseorang yang sudah mengabarinya perihal keberadaannya sekarang.
***
"Kamu apa kabar, Nay?"
Nayya tersenyum menanggapi, "Baik, Abang?"
Lelaki yang dipanggilnya Abang itu mengangguk, "Maaf, Aku jarang datang. Akhir-akhir ini Mama sering sakit."
Nayya terkejut mendengarnya, "Mama sekarang gimana?"
"Alhamdulillah, sudah sembuh. Makanya aku bisa ke sini," Dia memperhatikan sekeliling, memutari kafe yang siang itu sepi. "kafe gimana, Nay?"
Nayya tersenyum, "Berjalan dengan baik," ucap Nayya singkat.
"Kamu bisa berhenti untuk menjaga tempat ini, kalau kamu mau. Aku gak mau ini jadi beban buat kamu."
Nayya menggeleng, tidak pernah Nayya menganggap pekerjaannya adalah beban. "Bang, ini satu-satunya cara untuk membalas kebaikan keluarga kamu."
"Keluarga kita kalau kamu lupa, kamu akan selalu menjadi bagian keluarga Pradipta. Lagipula gak ada yang pernah minta kamu untuk membalas budi."
Nayya menarik nafasnya teratur, "Maaf, Aku cuma selalu merasa kalian terlalu baik sudah menerima aku dengan tulus." Dia menatap kakak tirinya itu dengan dalam, "tapi, bukan cuma itu. Aku senang bekerja di sini, dengan begitu aku punya kesibukan."
Lelaki itu mengalah, "Baiklah, kamu bebas memilih."
Nayya tersenyum simpul, "Kalau begitu, Bos aku ini mau minum apa?"
Nayya datang setelah membuatkan minuman untuk kakak tirinya itu, bukan kakak sebenarnya karena mereka seumuran, cuma karena lelaki itu lahir dua bulan lebih cepat alhasil panggilan 'Abang' itu tercipta.
"Mama dan Papa ingin ketemu kamu,"
Nayya tersenyum tipis, "Aku juga, sampaikan salamku. Bilang kalau aku merindukan mereka."
"Rumah selalu terbuka lebar untuk kamu, Nay."
"Aku akan datang berkunjung."
Lelaki itu menghela nafas frustasi, "Aku tahu kamu paham bahwa bukan itu maksudku."
KAMU SEDANG MEMBACA
UNDERCOVER
Teen Fiction"Bagaimana kalau Nadir gak ada?" Nayya tak bergeming, matanya memerah dengan spontan. "Nadir mau pergi?" tanyanya dengan suara sendu. "Nadir cuma bertanya, bagaimana kalau Nadir gak ada? Nayya akan kesepian karena gak punya teman selain Nadir." Pere...