TEMAN PRIBUMI

55 8 0
                                    

Setelah jam sekolah selesai, aku sengaja menghampiri Garningsih untuk mengajak berkenalan.

"Kamu.. Teman sekelasku kan?" ucapku menyamakan langkah dengan Garningsih dan kedua temannya.

Garningsih tersenyum dan sedikit menundukkan kepala.

"Iya, kamu Annalee kan?".

Dengan semangat aku memperkenalkan diriku,

"Aku Annalee van der Greit senang berkenalan dengan kalian" ucapku dengan semangat.

Sontak Garningsih dan kedua temannya saling bertatap-tatapan heran. Garningsih tersenyum dan mengatakan sesuatu,

"Aku Garningsih, biasanya orang Belanda tidak ingin bergaul bersama kami para Pribumi ternyata kamu orang baik" ucap Garningsih dengan lembut dan tersenyum.

"Aku Cakra, dan ini Kartika salam kenal" ucap Cakra yang merupakan seorang laki-laki pribumi.

"Sepertinya rumah kita satu arah, boleh jika aku pulang bersama kalian?" ucapku.

"Boleh, boleh banget masa tidak boleh" ucap Cakra yang antusias.

"Kau ini Cakra giliran yang ayu aja langsung" ucap Kartika dengan medok nya.

Cakra hanya tersenyum lebar sambil menggaruk pelan kepalanya.

Aku berjalan bersama dengan tiga teman baruku, yaitu Nenek, Cakra, dan Kartika. Ketiganya sangat baik terhadapku, nenek ternyata adalah perempuan lemah lembut pantas saja Kakek jatuh cinta kepadanya.

Aku sampai di depan rumah Tuan Hans, terlihat Tuan Hans yang sedang duduk dan membaca koran di teras rumah. Aku menyapanya, ia tersenyum melihatku pulang.

Aku pun masuk kedalam rumah Tuan Hans, di sana Nyonya Elizabeth terlihat tengah mengobrol dengan seorang pria, sepertinya pria itu 2 sampai 3 tahun lebih tua di bandingkan denganku.

Mengetahui keberadaanku, Nyonya Elizabeth berdiri dari duduknya, ia mengenalkan pria itu kepadaku,

"Annalee, ini adalah Edwin putraku" ucap Nyonya Elizabeth tersenyum tipis.

"Aku Annalee" ucapku.

Edwin menatapku aneh, ia menatapku dari atas hingga bawah dan begitu seterusnya, tentu saja aku merasa tak nyaman dengannya.

"Edwin" singkatnya dengan wajah datar namun bola matanya tak tenang seperti mengisyaratkan sesuatu.

"Apasi ni bule satu belagu bener" ucapku dalam hati.

"Edwin ini baru saja pulang dari Batavia, dia yang akan menemanimu di sini" ucap nyonya Elizabeth lagi.

Aku hanya tersenyum dan menunduk, Edwin masih menatapku dalam dan aneh entah apa yang ia fikirkan.

Akhirnya, aku dan Edwin di suruh untuk mengamati para pekerja di ladang milik keluarga tuan Hans. Sepanjang jalan Edwin hanya terdiam seperti tidak tertarik untuk mengajakku berbicara.

"Tuan Edwin, kalau boleh tau ladang nya masih jauh atau sudah dekat?" ucapku memulai percakapan.

Edwin masih terdiam lalu beberapa saat kemudian ia baru mengeluarkan kata dari mulutnya.

"Sebentar lagi, ngomong-ngomong panggil saja Edwin toh kamu sudah jadi adikku kan sekarang" ucap Edwin menoleh ke arahku.

Meskipun tatapan Edwin yang aneh dan wajahnya yang terlihat jutek namun perasaanku mengatakan bahwa Edwin orang baik.

Sesekali aku melirik Edwin, ia berulang kali hampir mengajak ku berbicara, namun tak pernah ia teruskan. Aku berfikir bahwa ia gugup kepadaku.

Sesampainya di ladang, Edwin memberitahuku sedikit tentang ladang ini dan mengenalkan beberapa pekerja yang di dominasi oleh para pribumi.

"Nah ini ladang milik papa, biasanya ladang ini akan di tanam cabai, tomat, umbi umbian, wortel dan lain lain. Para pekerja di sini sangat rajin sekali untuk merawat tanaman di sini. Mangkanya hasilnya sangat bagus dan laku di pasaran"

Aku mendengarkan apa yang disampaikan Edwin, sampai mataku tertuju pada gadis yang membawa rantang, ternyata gadis tersebut adalah Garningsih.

"Edwin, aku izin ingin ke sana sebentar" ucapku.

"Jangan lama dan jangan jauh-jauh" jawab Edwin.

"Garningsih!!" aku sedikit berteriak agar Garningsih bisa mendengarku dari kejauhan.

Garningsih menoleh setelah mendengar ada yang memanggilnya, aku melambaikan tanganku dan menghampirinya.

"Annalee kau ada di sini" ucap Garningsih dengan tersenyum.

"Hustt" wanita di sebelahnya menyenggol lengan Garningsih pelan dengan sikunya seolah mengisyaratkan sesuatu.

Garningsih tersenyum dan menunduk.

"Maaf, Nona Annalee kenapa memanggilku?" ucap Garningsih dengan nada yang lembut.

"Maaf Nona, Ningsih tidak sopan" ucap wanita itu sambil menunduk minta maaf.

"Ah tidak apa, Ningsih temanku di sekolah" ucapku.

Aku dan Garningsih akhirnya mengobrol berdua.

"Itu ibuku, namanya Garmin. Ibuku bekerja di ladang tuan Hans" ucap Garningsih.

"Tuan Hans itu, Ayah asuhku" ucapku dengan antusias.

Garningsih hanya tersenyum, ia menyodorkan roti yang dibawanya kepadaku.

"Kau mau?"

Belum aku menjawabnya, Edwin memanggilku.

"Annalee, sedang apa kau di sana?" ucapnya dari kejauhan.

Aku langsung beranjak ketika Edwin menghampiriku.

"Dia ini inlander, jangan dekati dia. Tuan.. Maksudku papa tidak akan menyukainya" ucapnya lalu menarik lenganku.

Aku sedikit terkejut dengan apa yang baru saja Edwin katakan, aku menoleh ke arah Garningsih. Garningsih hanya tersenyum sambil menunduk. Aku merasa sangat bersalah kepadanya.

"Sebaiknya kau pulang saja ke asalmu sebelum waktunya tiba" ucap Edwin dengan nada yang rendah.

"Maksudnya?"

The Secret Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang