Aku sangat menikmati keindahan alam yang terlihat di sisi kanan jalan itu, Edwin masih mengayuh sepedanya dengan sesekali mengajakku mengobrol.
"Annalle pegangan takut kamu jatuh" ucapnya dengan sedikit kencang akibat suaranya terputus oleh angin di sekitarnya. Aku memahami maksud dari ucapannya, aku berpegangan dengan memeluk Edwin dari Belakang.
"Peluk dengan erat Annalle, di depan ada turunan" ujar Edwin. Aku menurutinya dan memeluknya lebih erat dari sebelumnya. Turunan itu lumayan curam membawa kami ke arah akses jalan menuju danau.
Edwin membelokkan sepedanya menuju akses jalan itu, ia berhenti dan menoleh ku sambil tersenyum. "Kita turun di sini sambil mendorong sepedanya, akan sangat berbahaya jika kita menaiki sepeda di jalan terjal seperti ini" ucapnya. Aku mengangguk mengiyakan.
Kami berjalan menyusuri jalan sempit bebatuan yang menurun. Dari kejauhan sudah terlihat danau indah yang tenang, aku sumringah dan menunjuk danau itu.
"Edwin lihat danau itu indah sekali! " ucapku sambil menunjuk danau yang terlihat 100 meter dari jarak kami berdiri.
Edwin tersenyum, "Kita akan kesana" ucapnya.
Aku sangat senang dan berlari ke arah danau dan meninggalkan Edwin dengan sepedanya.
"Ann.. Hati-hati jalan di sini batuan semua!" teriak Edwin dari atas.
Aku menoleh ke arahnya, "Kamu lambat ayo kesini!" ajakku.
Edwin meletakkan sepedanya di tempat itu dan berlari ke arahku, melihat Edwin mengejarku aku berlari ke arah danau. Hingga kami sampai ke jalan yang datar tepat di depan danau.
Danau itu sangat tenang dan damai, di tanah yang kami injak adalah rumput-rumput kecil yang terawat dan tak jauh di tempat kami berdiri terdapat dua ayunan dari kayu.
Aku menghampiri ayunan itu dan menaikinya, Edwin mengayun ku dengan lambat.
"Kini kau senang putriku?" ucap Edwin masih dengan mengayun ku.
"Iya aku sangat bahagia Papah" jawabku terkekeh kecil.
Edwin menghentikan ayunan ku dan menahannya, "Apa kamu bilang? Papah? Di ajari siapa sikapmu begini?" ucap Edwin dengan sorot mata yang dalam hingga aku tak kuasa menatap matanya.
Namun tak lama Edwin tersenyum kepadaku dan mengelus lembut rambutku. Ia duduk di ayunan kosong di sampingku dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tas nya.
Ia mengeluarkan roti selai stoberi yang di bungkus plastik lalu ia merobeknya menjadi dua bagian dan memberikan satu bagian itu kepadaku.
"Makanlah aku sudah membuang waktu ku untuk menyiapkannya, atau kau ingin ku suapi?" ungkap Edwin.
Aku tak kuasa menahan salah tingkah ku dan langsung mengambil roti itu dari tangan Edwin.
"Terimakasih" ucapku dengan gugup.
"Aku tak ingin kau mengucapkan kata itu lagi karena sekarang aku kekasihmu, tak ada sikap sungkan satu sama lain" ungkap Edwin.
Aku hanya mengangguk sembari masih mengunyah roti selai stroberi itu. Setelah aku selesai makan aku baru teringat sesuatu yang selalu mengganjal di hati dan kepalaku yaitu aku bukan dari jaman ini tapi sekarang aku terlanjur menempatkan hatiku kepadanya.
"Edwin aku ingin tanya sesuatu padamu" ucapku.
Edwin langsung mengalihkan perhatiannya padaku, "Tanyakan saja".
"Apa keinginan terbesarmu?" tanyaku.
"Hmm.. Keinginan terbesarku hanya satu yaitu kebahagiaan" singkatnya.
"Kebahagiaan seperti apa?"
"Banyak, keluar dari bayang-bayang Hans, membebaskan ibu dari pengaruhnya, bertemu dengan ayah kandungku dan yang paling penting adalah membahagiakanmu dan menikahi mu" tuturnya.
Aku diam sejenak melihat Edwin, lalu aku mengajukan pertanyaan yang sebenarnya berat untukku tapi aku harus mengucapkannya.
"Tapi bagaimana jika aku menghilang dari hidupmu?" tanyaku dengan serius.
Senyum Edwin perlahan pudar, "Itu pilihan mu dan takdir tapi selalu ingat lah aku ingin membahagiakan mu dan menjagamu, aku tak akan membiarkanmu terluka Ann. Aku lihat kau sehat saja sudah membuatku bahagia" tutur Edwin dengan lembut yang membuat hatiku meleleh.
"Ann kau lihat di sana, ada seseorang yang meninggalkan setangkai bunga mawar. Bunga mawar itu terlihat indah tapi siapa sangka bunga mawar juga memiliki duri yang tajam. Begitulah kehidupan percintaan, sekilas terlihat cantik dan menawan namun pada kenyataannya akan banyak rintangan dan pengorbanan. Namun meskipun begitu ada tangan yang rela terluka demi bunga mawar terangkat agar dunia lihat keindahannya " ungkap Edwin sambil menunjuk bunga mawar yang tergeletak di bangku yang jaraknya cukup jauh dari mereka duduk.
Aku melihat-lihat sekeliling sampai akhirnya aku melihat seekor burung merpati putih yang indah hinggap di salah satu cabang pohon. Aku melihatnya dengan kagum.
"Edwin lihat ada seekor burung merpati yang sangat cantik, jika aku punya kamera aku pasti memotret nya. Burung merpati itu adalah simbol kebebasan dan harapan. Jika kita korelarikan keduanya maka menjadi representasi keindahan dan kedamaian dalam kehidupan. Bersama-sama mereka mencerminkan untuk menciptakan harmoni di tengah-tengah keindahan dan tantangan juga kesederhanaan" ucapku dengan tatapan penuh harapan, Edwin terus memandangku dengan senyum yang terukir di wajahnya, ia mengelus lembut rambutku.
"Kekasihku yang pintar" ucapnya sambil terus mengelus rambutku.
"Sebetulnya aku tak ingin kisah kita seperti mawar yang terlihat indah namun ternyata harus ada pengorbanan" ungkapku.
"Tapi begitulah kehidupan Ann..." tuturnya dengan lembut.
Edwin memegang tanganku dengan kedua tangannya.
"Aku hari ini berjanji, biarkan danau indah ini dan semesta menyaksikannya. Aku berjanji akan terus melindungimu hingga akhir hayatku meskipun pada akhirnya kita tidak bersatu tak apa yang terpenting kau bahagia. Bahagiamu adalah bahagiaku juga".
Aku terpukau dan terharu melihat Edwin mengatakan demikian, entah apa yang harus ku katakan dan ku lakukan pada saat ini. Edwin terlalu baik dan terlalu istimewa.
Biarkan danau indah ini menjadi saksi bisu kisah cinta kita.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret Destiny
Historical FictionTerdengar tak logis ketika kita mendengar kata menjelajah waktu, namun entah bagaimana caranya Annalee berhasil ditarik ke dalam kehidupan masa lalu Kakeknya. Tak ada misi penting ataupun pesan yang harus Annalee selesaikan di zaman itu ia hanya ing...