Beberapa tahun setelah kepergian Annalle, Pieter mendapatkan masalah besar. Ia dituduh sebagai pelindung Pribumi dan dianggap sebagai pengkhianat bangsa sendiri. Dikatakan demikian karena Pieter dianggap terlalu mencampuri urusan Tuan Joan dalam memperdagangkan budak Pribumi dan telah terbongkarnya asmara Pieter dengan Garningsih yang membuat bangsa Belanda semakin yakin jika Pieter merupakan seorang pengkhianat.
Pieter dan Garningsih dibawa paksa ke depan gedung Residen untuk diadili. Pieter yang sebelumnya telah disiksa oleh para tentara Belanda itu hanya diam dan pasrah sementara Garningsih masih saja menangis dan memberontak.
"Tuan, saya membawa orang terkutuk ini untuk diadili. Dia adalah pengkhianat!" teriak salah satu tentara Belanda.
"Hukum mati saja Tuan!"
"Hukum mati!"
"Hukum mati!"
"Semuanya tenang!!!" bentak sang Residen dengan melepaskan peluru ke arah atas untuk meredam kebisingan itu, seketika semua suara menjadi hening tak ada yang berani berbicara setu pun.
Sang Residen pun berjalan perlahan menghampiri Pieter yang sedang berjongkok di depannya dengan tangan yang dicengkram keras oleh para tentara. Residen itu membungkukkan badannya dan menatap Pieter, lalu tak lama ia menampar Pieter dan langsung berdiri kembali.
"Apa benar yang telah dikatakan itu, kau seorang pengkhianat?!" tanya Sang Residen dengan tatapan mengintimidasi.
Pieter dengan tegas menatap kembali Residen, "Saya bersumpah tidak tahu menahu akan hal ini, saya difitnah!" ucap Pieter dengan nada yang lugas.
Residen menyeringai lalu ia meludah ke samping Pieter, "Bagaimana saya mempercayai anda sedangkan anda saja menjalin asmara dengan wanita inlander ini" ujar Sang Residen sambil berjalan mengitari Garningsih.
"Jangan sakiti dia! Biarkan saya yang menanggung rasa sakit ini!" teriak Pieter dengan suara yang sedikit gemetar.
Residen kembali menghampiri Pieter, kali ini dia menodongkan senapan laras panjang dan mengangkat dagu Pieter untuk mengancamnya. "Mau mati kamu?!" ancamnya.
"Terserah kalian menghukumku bagaimana pun asalkan jangan kalian sentuh kekasihku! Biarkan aku mati dalam fitnah ini daripada kekasihku harus menanggung penderitaan karenaku" ungkap Pieter dengan suara lantang dan berani.
Sang Residen memasukkan peluru ke dalam senapannya lalu bersiap-siap menembak Pieter, Garningsih meraung-raung meminta pengampunan kepadanya agar ia melepaskan dirinya dan Pieter. Namun usaha Garningsih sia-sia, Sang Residen tak begitu memperdulikannya.
"Tuan.. Tuan.. Aku mohon Tuan berikan kami pengampunan Tuan.. Jangan bunuh Pieter Tuan.. Dia tidak terlibat apa-apa Tuan.." raung Garningsih dengan air mata yang telah kering.
Residen itu tak peduli berapa banyak kalimat yang Garningsih ucapkan untuk meminta pengampunan ia tetap akan mengeksekusi Pieter.
Namun sesaat sebelum peluru itu melayang, seorang pria Belanda menghentikannya.
"Berhenti! Berhenti bersikap bodoh seperti ini! Akulah orang yang kalian cari, akulah pengkhianat itu!" Teriak pria tersebut. Pria pemberani yang menyerahkan diri sendiri itu tak lain adalah Edwin.
Pieter terkejut melihat Edwin berkata demikian, matanya melotot seolah tak percaya Edwin akan berbicara seperti tadi.
"Omong kosong macam apa itu!" bentak Pieter.
"Tetaplah hidup Pieter" pesan Edwin yang Pieter sendiri tak mengerti apa maksud dari perkataan itu.
Sang Residen cukup terkejut melihatnya tapi tanpa berpikir lama, ia segera memerintahkan para tentara untuk memegangi tubuh Edwin. Edwin di paksa berjongkok di depan Residen, tubuhnya dicengkram erat oleh kedua tentara sementara Pieter dan Garningsih di bebaskan.
"Kami tak ada waktu untuk bermain-main, apakah betul kau seorang pengkhianat selama ini?!" bentak Residen sambil menodongkan senapan ke arah Edwin.
Tanpa berpikir panjang, Edwin segera mengatakannya, "Ya saya".
Sementara itu Garningsih langsung memeluk tubuh Pieter yang telah di penuhi luka lebam akibat siksaan yang ia dapatkan sebelumnya.
"Ningsih jangan takut, aku di sini" ucap Pieter dengan lirih.
"Kau cukup berani untuk mati!" sentak Sang Residen.
"Tidak berguna, seorang elit Belanda yang tersohor sepertinya bisa-bisanya ia memfitnah orang baik sebagai pengkhianat yang padahal ia sendiri lah Sang pengkhianat itu. Seluruh jajaran pemerintahan bisa ia sogok dengan mudahnya untuk menutupi aksi bejad nya selama bertahun-tahun" ungkap Edwin dengan suara lantang dan lugas.
Residen kala itu langsung berapi-api dengan cepat ia menodongkan senapan tepat ke dada Edwin dan berteriak "Banyak omong!".
Dorrr!!!
Senapan itu langsung mengenai jantung Edwin, dalam hitungan detik Edwin jatuh tergeletak di tanah. Para tentara yang sedari tadi memegangi Edwin langsung berkumpul di samping Residen.
Pieter berteriak histeris melihat tubuh Edwin yang sudah berlumur darah, ia langsung menghampiri tubuh Edwin.
Dengan sisa tenaga yang ada, Edwin melepaskan kalungnya dan memberikannya kepada Pieter, lantas ia tersenyum hangat.
"Pergilah dari tanah ini, menikahlah dengan Ningsih dan jagalah permataku. Aku akan mati dengan perasaan yang lega karena aku telah menyelamatkan jiwa permataku. Sampai nanti ia telah mengetahuinya, kembalikanlah kalung ini kepadanya. Pieter, jagalah permataku" lirih Edwin dengan nafas yang sudah tak beraturan ia mengucapkan kata-kata terakhirnya itu dan tak lama kemudian Edwin menghembuskan nafas terakhirnya.
Seperti tak ada rasa penyesalan, Residen dan para tentara masuk ke dalam gedung meninggalkan Pieter, Garningsih serta jasad Edwin di pekarangan gedung.
Pieter memegang tangan Garningsih dan mengisyaratkan untuk pergi meninggalkan tempat itu, lalu mereka berdua lari meninggalkan tempat penuh trauma itu.
Akhirnya Pieter melanjutkan hidupnya dengan menikahi Garningsih secara resmi. Ia memutuskan pindah dan menetap di Belanda dengan Garningsih.
Beberapa tahun kemudian Garningsih melahirkan seorang anak yang di beri nama Inneke.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret Destiny
Historical FictionTerdengar tak logis ketika kita mendengar kata menjelajah waktu, namun entah bagaimana caranya Annalee berhasil ditarik ke dalam kehidupan masa lalu Kakeknya. Tak ada misi penting ataupun pesan yang harus Annalee selesaikan di zaman itu ia hanya ing...