Kami berbincang di ruang santai, ternyata keluarga Pieter sangatlah hangat dan baik. Nyonya Liv dan Cornelia memiliki sifat yang sama cerianya dan sangat senang bertemu orang baru. Sementara Pieter dan Tuan Willem sedikit kata namun hangat dan suka bercanda.
"Edwin, kau sering-sering lah berkunjung kemari. Tidak mungkin jika aku yang mengunjungi mu bukan?" ucap Nyonya Liv sambil bercanda.
Edwin tertawa kecil, "Baik Nyonya Liv, lagipula sekarang aku menitipkan adikku ini kepadamu. Aku pasti akan sering berkunjung kemari" jawab Edwin dengan menatapku.
Aku sedikit salah tingkah karena lagi-lagi Edwin memanggilku adiknya.
"Ehhh.. Memangnya kenapa Nyonya Liv tak bisa mengunjungi Edwin?" ucapku penasaran.
Nyonya Liv terdiam, Ia saling bertatapan dengan Cornelia dan Edwin. Lalu tak lama ia menampilkan senyuman hangatnya.
"Kamu tahu kan Edwin adalah anak asuh Tuan Hans?" tanya Nyonya Liv kepadaku.
Aku yang masih penasaran hanya mengangguk.
"Dulu Edwin tinggal di sini, dan dulu saya adalah sahabat Elisabeth Ibunya Edwin. Semenjak Elisabeth menikah dengan Hans, persahabatan kami lambat laun kandas karena Hans tak menyukai suamiku Willem. Namun ketidaksukaan itu lama-lama berubah menjadi kebencian, sempat kami ingin berdamai dengan mereka namun mereka malah mengusir kami. Edwin diperlakukan kejam oleh mereka, sekarang pun saya yakin sekali luka yang Edwin alami pasti perbuatan mereka. Tak ada yang bisa saya lakukan untuknya, saya hanya bisa menawarkan rumah ini untuknya pulang" ungkap Nyonya Liv dengan penuh ketulusan.
Edwin sedikit menunduk, aku memegang bahunya. Edwin menatapku dan tersenyum. Cornelia menepuk pelan kaki Nyonya Liv dan menatapnya dengan penuh isyarat.
"Edwin maafkan saya tapi ini sudah waktunya kamu tahu" ucap Nyonya Liv dengan serius.
Edwin menatap penasaran.
"Memang benar, kau merupakan anak asuh dari Tuan Hans. Namun kau adalah anak kandung dari Elisabeth" ungkap Nyonya Liv.
Edwin membelalakkan matanya seolah tak percaya, namun ia tak sedikitpun berkomentar.
"Sebelum Elisabeth menikah dengan Hans, dia sudah berhubungan badan dengan laki-laki lain dan telah mengandung. Namun Hans tetap bersikukuh menikahi Elisabeth, tetapi Hans ingin membuang anak Elisabeth itu. Elisabeth tak tega untuk membuangnya, namun ia terlalu takut kepada Hans. Akhirnya dia menitipkan bayi itu kepadaku. Awalnya aku yang mengurus bayi itu sampai belum genap setahun aku dinyatakan hamil, aku tak sanggup jika mengurus dua bayi sekaligus alhasil aku menitipkan bayi itu kepada Mbok untuk diurus. Edwin tumbuh di rumah ini bersama dengan Pieter sampai akhirnya Hans dan Elisabeth datang ke rumah untuk mengambil Edwin kembali. Sebenarnya aku sangat amat tak rela Edwin diambil oleh mereka, namun apa daya Elisabeth adalah ibu kandungnya. Dari awal Hans dan Elisabeth mengambil Edwin, Edwin sama sekali tak tahu jika Elisabeth merupakan ibu kandungnya, ia hanya tahu jika ia merupakan anak adopsi" ungkap Nyonya Liv lagi.
Edwin dilanda kebingungan namun sekaligus ia merasa lega akan fakta tentang dirinya. Ia selalu berfikir dirinya adalah manusia antah berantah yang numpang hidup di keluarga Tuan Willem, namun tak disangka ia adalah putra kandung Nyonya Elisabeth.
"Tapi kenapa mereka tak mau mengakui ku saja sebagai anak kandungnya?" tanya Edwin.
Nyonya Liv tersenyum, "Kau sudah sangat tahu orang seperti Hans itu bagaimana, ia tak sudi menganggap anak hasil hubungan gelap sebagai anak kandungnya"
Aku dan Cornelia hanya terdiam tak banyak tanya, aku mengelus bahu Edwin untuk menguatkan nya.
"Tapi kau beruntung, Elisabeth sangat menyayangimu" ucap Nyonya Liv.
"Menyayangiku bagaimana? Orang itu setiap harinya seperti hendak membunuhku" sanggah Edwin dengan nada yang tinggi.
"Jika tanpa Elisabeth selalu di sampingmu, mungkin kau sudah mati di umur mu yang masih anak-anak" tutur Nyonya Liv.
Akhirnya setelah lama terdiam Cornelia angkat bicara, "Sebenarnya kami sangat mengkhawatirkanmu Edwin, kamu sudah kami anggap keluarga sendiri. Banyak dari para pembantu Tuan Hans adalah orang kami. Mereka lah yang membeberkan kelakuan keji Tuan Hans dan Nyonya Elisabeth terhadapmu. Ketika mendengar kabar buruk, tak hentinya Mama menangis" ungkap Cornelia dengan nada yang lugas.
Edwin menoleh ke arah Nyonya Liv, "Nyonya Liv" ucapnya dengan mata yang sudah berkaca kaca.
"Kau adalah anakku" jawab Nyonya Liv sambil menggengam kedua tangan Edwin.
Tak kuasa Edwin menahan air matanya, akhirnya air matanya turun, aku pun memeluknya. Tak berselang lama, Pieter kembali bersama Tuan Willem.
Melihat situasi itu Pieter dan Tuan Willem merasa canggung. Edwin menyeka air matanya untuk menyambut Tuan Willem. Ia berdiri dari duduknya, aku mengikutinya.
"Tuan Willem".
" Tuan Willem, saya Annalee terimakasih telah menerima saya di rumah ini" ucapku.
"Ah tidak usah sungkan sungkan dengan saya, saya telah mendengar kisahmu dari Cornelia pada saat perjalanan menuju kesini. Yah di rumah ini ada 2 orang korban dari kekejaman Hans" ucap Tuan Willem dengan ramah.
"Kau darimana saja bersama papa?" tanya Cornelia kepada Pieter untuk mencairkan suasana.
"Pergi memancing" jawab Pieter.
"Dapat ikan tidak?" tanya Cornelia lagi.
Pieter tersenyum lebar hingga terlihat giginya, "Tidak".
Cornelia memutar bola matanya.
"Sudah waktunya makan siang, kalian cuci tangan ya nanti langsung ke ruang makan untuk makan siang" ucap Nyonya Liv.
Akhirnya aku, Edwin, Cornelia dan Pieter bergegas pergi ke kamar mandi untuk bebersih dan mencuci tangan sebelum akan menyantap makanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret Destiny
Ficción históricaTerdengar tak logis ketika kita mendengar kata menjelajah waktu, namun entah bagaimana caranya Annalee berhasil ditarik ke dalam kehidupan masa lalu Kakeknya. Tak ada misi penting ataupun pesan yang harus Annalee selesaikan di zaman itu ia hanya ing...