"Darimana saja kamu" ucap Nyonya Elisabeth duduk membelakangi Edwin dengan nada tinggi dan ketus.
"Mengunjungi kerabat lama" jawab Edwin dengan lugas.
Nyonya Elisabeth langsung berbalik badan menatap Edwin.
"Dasar anak nakal! jangan-jangan kamu pergi mengunjungi rumah keluarga Liv?!" bentak Nyonya Elisabeth.
Edwin tersebut sinis, "Kenapa? kau berusaha menutupi sesuatu?" ucapnya dengan tenang.
"Mana mungkin aku menyembunyikan sesuatu yang ada pada keluarga itu!".
"Kau mungkin tidak tahu sebenarnya aku seringkali mengunjungi Mama Liv, mungkin 1 bulan bisa 1 sampai 3 kali".
Nyonya Elisabeth terdiam dan menatap ke segala arah dengan gelisah.
"Aku tidak ingin bertengkar denganmu, Mama... Aku bisa saja pergi dari rumah yang di dalamnya bobrok seperti ini, tapi aku khawatir iblis itu akan membunuhmu" ucap Edwin.
"Kau sudah tau?" Nyonya Elisabeth menghela nafas berat, pandangannya tertunduk.
Edwin memegang kedua bahu Nyonya Elisabeth, ia tersenyum tipis. Nyonya Elisabeth mengangkat pandangannya memandang putranya yang kini telah tumbuh dewasa.
"Meskipun aku membencimu, bagaimana pun kau tetaplah ibuku" ungkap Edwin.
Lalu Edwin pergi ke dalam kamarnya meninggalkan Nyonya Elisabeth.
Di dalam kamar Edwin terus saja merenung.
"Apa aku selama ini berbuat jahat sama Mama ya, di pikir-pikir Mama hanya pernah memaki ku saja tidak pernah sekalipun ia menyakitiku. Tapi dia sama saja seperti bajingan itu, hatinya busuk"
Edwin membuka lemari kayu yang terlihat sudah usang di kamarnya, terakhir kali lemari itu di buka Edwin masih berusia 10 tahun. Edwin membuka laci yang ada di bawah lemari itu dan menemukan kunci yang telah berkarat dan kemudian ia membukanya.
Di dalam lemari ia hanya menemukan berkas-berkas dokumen puluhan tahun yang lalu dan kain-kain tak terpakai. Dengan penasaran Edwin masih saja meraba-raba isi dari lemari itu, sampai ketika ia merasakan ada benda yang cukup keras berada di penyimpanan paling atas dan tertutupi oleh kain-kain usang.
Edwin meraihnya dan berhasil membawanya. Ternyata itu adalah sebuah peti kecil dengan kunci yang masih menggantung. Peti itu tampak sangat berdebu, Edwin meniup debu itu namun saking banyaknya hingga Edwin terbatuk-batuk.
Edwin pun mulai membuka peti itu dengan perlahan, di dalamnya hanya ada dua lembar foto, selembar kertas yang di lipat dan sebuah cincin emas.
Edwin mengamati kedua foto itu. Foto pertama adalah foto seorang gadis cantik mengenakan gaun selutut dengan motif bunga dan seorang pria tinggi mengenakan jas. Di bagian belakang tertulis nama "Elisabeth, Andreas: 1923".
Edwin kemudian melihat foto kedua yang mana di foto tersebut terlihat seorang wanita yang sedang mengandung dengan seorang pria yang mengenakan jas. Lagi-lagi di bagian belakang tertulis nama " Elisabeth, Andreas, Edwin Robert Van Dijk: 1924". Edwin terkejut melihat namanya ada di foto itu, namun namanya sedikit berbeda yang mana ia kini bernama Edwin De Vokker.
Lalu Edwin membaca surat yang tertulis di kertas yang ia temukan dalam peti. Surat tersebut berbunyi:
Sudah sejak 1917 kita menjalani hidup sebagai sepasang kekasih sampai akhirnya aku mengandung anakmu di tahun 1921 yang telah kau beri nama anak kita dengan begitu spesial "Edwin Smith Robert Van Dijk". Namun salahku aku tak pernah memberitahumu bahwa sejak tahun 1920 aku telah diberitahu bahwa aku akan dipersunting oleh seorang pengusaha Belanda yang tersohor. Aku berulang kali menolaknya, namun orang itu tetap saja tak kenal lelah mengejarku hingga akhirnya aku berhubungan badan denganmu supaya aku mempunyai keturunan agar kita bisa menikah.
Namun dugaanku salah, bajingan itu malah memfitnahmu dengan mengatakan kau telah melecehkanku dan mengancamku hingga kau di usir dari tanah Hindia Belanda. Pada saat itu mulutku di bungkam oleh para petinggi Belanda dan mereka memaksaku menikah dengan bajingan yang telah mencelakaimu. Namun apalah daya, aku hanya gadis Belanda yang tidak memiliki kekuasaan sehebat orang itu.
Setelah menikah dengannya, kehidupanku tak lebih baik. Aku harus mengikuti apa yang dia katakan, tak jarang ia memukulku dengan tangannya yang kotor penuh dosa. Anak kita pun tak jarang mendapatkan siksaan dari bajingan itu, aku sama sekali tak bisa menghentikan iblis yang ada di dalam raganya.
Sekali lagi maaf Andreas aku gagal, gagal menjadi istri yang baik dan gagal menjadi ibu yang baik.
Setelah membaca surat itu, Edwin seketika tersadar akan statusnya saat ini. Ia melipat kembali kertas itu dan memasukkannya ke dalam peti kayu. Belum sempat peti kayu itu ditutup, tiba-tiba Nyonya Elisabeth berdiri di depan pintu kamarnya.
Dengan panik Edwin langsung menyembunyikan peti kayu itu di belakang tubuhnya, namun Nyonya Elisabeth terlanjur melihatnya.
Tak seperti biasanya, Nyonya Elisabeth kini hanya tersenyum tipis lalu menghampiri putranya itu dan duduk di sampingnya sembari mengambil peti di belakang tubuh Edwin.
"Kau sudah tahu faktanya, lebih baik aku perjelas" ucap Nyonya Elisabeth.
"Bajingan itu sedang ada dinas di Batavia, ia tak akan tahu kita di sini mengobrol tentang apa" sambungnya.
"Siapa Andreas? Papa ku?" tanya Edwin.
Nyonya Elisabeth tersenyum hangat, dengan perlahan ia membuka peti kecil itu.
"Dia adalah lelaki yang aku cintai sampai detik ini" ucapnya.
Belum pernah Edwin lihat Mamanya tersenyum sehangat ini. Ia baru menyadari bahwa Nyonya Elisabeth masih mencintai lelaki bernama Andreas itu.
"Sebenarnya kau mencintai siapa? Andreas atau Hans?" tanya Edwin.
Seketika ekspresi Nyonya Elisabeth berubah dari tersenyum hangat menjadi ekspresi kesal.
"Tentu saja aku mencintai Andreas! Hans itu bajingan yang merebutku dari kekasihku! Dia... Dia mengancam keluargaku jika aku tak menikah dengannya bisnis kecil keluargaku akan hancur! Dia juga memfitnah Andreas ku sampai ia tak di terima lagi di di sini. Aku tidak tahu dimana Andreas berada" ucap Nyonya Elisabeth dengan kesal dan sedikit mellow.
Edwin mendekatkan wajahnya ke Nyonya Elisabeth, tercium bau alkohol yang menyengat di tubuhnya sepertinya Nyonya Elisabeth sudah minum terlalu banyak hingga mabuk.
"Nyonya Elisabeth, kau sudah mabuk. Segeralah ke kamar" ucap Edwin sambil berdiri.
Nyonya Elisabeth memegang tangan Edwin, sambil menangis.
"Kau adalah putraku, bisakah kau tetap memanggilku Mama? Kau adalah anakku bersama dengan lelaki yang ku cintai" ucap Nyonya Elisabeth dengan menangis.
Edwin hanya terdiam, dengan perlahan ia melepaskan genggaman tangan Nyonya Elisabeth.
"Aku tahu kau baik, tapi butuh waktu yang cukup lama untukku menerima semua ini" ucap Edwin.
Lalu Edwin mengambil peti itu dari Nyonya Elisabeth, Nyonya Elisabeth tersenyum.
"Di dalam sini ada cincin yang Andreas berikan untukku, jangan bilang ini ke Hans ya... Bisa-bisa aku akan di bunuh olehnya" ucap Nyonya Elisabeth.
Edwin tak menanggapinya, ia sibuk menata barang di dalam lemari usang dan memasukkan kembali peti kecil itu dan menutupinya dengan kain seperti semula.
Kemudian ia memapah Nyonya Elisabeth yang telah mabuk masuk ke dalam kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret Destiny
أدب تاريخيTerdengar tak logis ketika kita mendengar kata menjelajah waktu, namun entah bagaimana caranya Annalee berhasil ditarik ke dalam kehidupan masa lalu Kakeknya. Tak ada misi penting ataupun pesan yang harus Annalee selesaikan di zaman itu ia hanya ing...