MENYADARI SESUATU

41 6 0
                                    

Edwin mengendap-endap masuk ke kamar Cornelia yang sekarang ditempati oleh Annalle.

Edwin masuk ke dalam kamar dan meletakkan sekotak kecil coklat di meja yang ada di kamar itu. Edwin melihat ada sepucuk surat tergeletak tak rapi di meja. Niat hati ingin merapihkan, namun justru Edwin malah membacanya.

Awalnya tak ada yang aneh, namun semakin Edwin membacanya semakin ia terkejut. Lalu derap langkah kaki kian terdengar, dengan cepat Edwin meletakkan kembali surat itu di tempat semula dan ia berpura-pura baru memasuki kamar itu untuk mencari keberadaan Annalle.

Edwin membalik badan dan ia cukup terkejut melihat Annalle yang ada tepat di depannya.

"Ann sedari tadi aku mencarimu di sini" ucap Edwin dengan tersenyum santai.

Annalle membalas senyumannya, "Ada apa sampai mencariku?".

"Aku ingin kau mencicipi ini, di perjalanan aku mampir ke toko permen dan kue, aku mengingatmu jadi aku membeli ini untukmu" ucap Edwin sambil menyodorkan sekotak kecil coklat.

Kotak itu tampak apik dengan hiasan yang lucu. Sebenarnya aku tak yakin ini dibeli dadakan.

"Terimakasih Edwin".

"Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat" ucap Edwin dengan sedikit terbata-bata.

Aku dengan tersenyum lebar mengangguk yakin.

Akhirnya aku dan Edwin pergi menuju tempat yang ingin dituju.

Sekitar 10 menit berjalan kaki, Edwin hanya diam namun beberapa kali aku melihatnya ia mencuri pandang ke arah ku. Edwin seperti ingin berbicara denganku namun entah bagaimana dan kenapa kata-katanya tak sampai ke bibirnya.

"Ini bukannya jalan menuju HBS?" ucapku.

"Tempat itu ada tepat di belakang bangunan HBS" jawab Edwin.

Akhirnya aku dan Edwin sampai di tempat tujuan kita, tempat ini tak asing bagiku karena tempat ini lah saksi bisu Pieter ditolak cintanya oleh Garningsih.

"Ann, di sana ada pohon yang bisa kita naiki" ujar Edwin sambil menujuk ke arah pohon besar tak jauh dari tempat yang sedang kami injak.

Aku berjalan ke arah pohon itu, pohon itu begitu besar dan menjulang tinggi. Terlihat memang ada kayu yang terpasang sengaja untuk bisa di duduki orang dan akses menuju kesana telah di sediakan kayu yang tertancap ke batang pohon.

"Aku akan naik terlebih dahulu, kau mengikutiku ya" ujar Edwin.

Aku mengangguk mengiyakan.

Dengan hati-hati Edwin naik terlebih dahulu disusul olehku, berulang kali Edwin berhenti dan menoleh ke arah ku memastikan aku aman di bawahnya.

Akhirnya kami sampai di atas, rasanya seru sekali melihat pemandangan yang indah di atas sini dengan angin yang sejuk.

Edwin membuka kotak coklat yang ia berikan kepadaku.

"Coklat ini wajib kamu makan di sini" ucapnya sambil membuka bungkus coklat.

Setelah di buka, ia menyodorkan coklat itu tepat di depan mulutku. Aku terdiam sejenak lalu aku membuka mulutku, tangan Edwin yang memegang coklat mendekat ke mulutku dan menyuapi ku dengan coklat itu.

Aku salah tingkah, aku tersenyum tak terkendali. Lalu aku membuka coklat untuknya.

"Kau juga harus memakan ini, buka mulutmu".

Edwin membuka mulut dan aku pun mulai memasukkan coklat ke dalam mulutnya.

Edwin tersenyum, " Manis coklatnya ".

"Ann, seharusnya aku mengatakan ini sekarang sebelum semuanya terlambat".

Aku terkejut mendengar Edwin mengatakan hal yang begitu serius.

"Katakan saja".

"Aku menyukaimu, cara kau meminta maaf padaku, cara kau memperlakukan ku dengan baik, tutur katamu, sikap dan prilaku mu, aku menyukainya" ungkap Edwin.

Aku terdiam cukup lama sambil saling bertatapan. Dari mata Edwin terlihat ia sangat tulus mengatakan demikian kepadaku. Aku tersenyum hangat.

"Kau tahu, aku juga menyukaimu".

Edwin terkejut namun sekaligus ia senang, "Terimakasih sudah menerima rasa suka ku".

"Aku yang berterimakasih kepada mu, karena mu aku tak tersesat di jalan yang tak aku ketahui" ungkap ku.

"Aku akan menjaga dan melindungimu Ann, selama aku masih bisa bernafas bebas di dunia ini".

"Tapi aku tidak menyukaimu menghina Garningsih pada saat di kebun" ungkap ku dengan kesal.

Edwin menunduk, "Aku terpaksa seperti itu karena Tuan Hans bilang orang Belanda lebih tinggi daripada Pribumi dan aku tak boleh berinteraksi dengan mereka. Jadi aku terpaksa bersikap seperti itu. Kamu.. Mau memaafkan ku?" tutur Edwin menatap dalam Annalle.

"Aku tahu kondisimu, tenang saja itu aku anggap sudah lewat" ucapku dengan tersenyum.

"Tapi Edwin, aku takut, aku takut jika kita berpisah kita tak akan bersama kembali" ucapku.

Edwin menggenggam tanganku, "Semuanya pasti akan ada namanya perpisahan, ini hanyalah permainan waktu dan takdir" ucapnya.

"Jika kau jauh sekalipun aku tetap mencintaimu" ungkap Edwin lagi.

Aku tak mampu berkata-kata lagi sepertinya aku terlalu puitis mengingat baru pertama kalinya aku merasakan yang namanya mencintai dan dicintai secara seimbang.

Aku pulang ke rumah sambil bergandengan tangan dengan Edwin. Cornelia membelalakkan matanya melihatku sudah bersama Edwin.

Di ruang tengah, aku bertemu dengan Pieter yang sedang bersama Garningsih.

"Loh.. Loh.. Kalian..?" Pieter kebingungan melihat kedekatan ku dengan Edwin.

"Kita sudah bersama" ucapku dengan malu-malu.

Edwin menepuk bahu Pieter, "Sabar ya, ada saatnya giliranmu" ucap Edwin.

"Enak aja, aku juga sudah bersama dengan Ningsih!" ungkap Pieter, tak lama ia menyadari ucapannya ia menutup mulut menggunakan tangannya.

Ningsih terkejut dan menepuk keningnya, "Pieter...".

"Alahh sudahlah, satu keluarga ini sudah tahu!" ujar Cornelia yang sedang kebetulan lewat.

Pieter langsung berdiri, "Serius Kak?" tanya nya.

Cornelia hanya mengangguk.

"Responnya bagaimana kak?" tanya Pieter lagi.

Langkah Cornelia berhenti, ia menghela nafas berat dengan ekspresi wajah yang tidak mengenakkan.

"Papa sama Mama... hmm... tentang hubungan kalian mereka... Setuju!!" seru Cornelia dengan tertawa.

"Pieter kamu harus belajar menghargai dan menghormati wanita!" perintah Cornelia.

Pieter mengangguk, Pieter tertawa lega mendengar keluarga nya telah setuju dengan hubungannya bersama Garningsih.

The Secret Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang