"Annalle kau dimana? Annalle! Kau baik-baik saja di sana? Annalle! Segera pulang nduk, kau tidak rindu dengan keluarga mu? Kau mau ragamu membusuk di sini?!"
Aku terbangun dari mimpi buruk itu, aku terdiam beberapa menit dan memikirkan hal yang seharusnya aku pikirkan sejak lama. "Jika aku berada di sini, bagaimana nasib ragaku?".
Aku penepuk pipiku sambil bergumam "Apakah ragaku telah mati membusuk?".
Belum sempat aku berteori lebih dalam, suara ketikan pintu terdengar suara itu sangat lembut. Annalle langsung beranjak dari ranjangnya untuk membukakan pintu.
Ternyata seseorang di balik pintu itu ialah Edwin, Edwin tersenyum ketika melihatku sorot matanya hangat yang membuatku salah tingkah.
"Maaf telah membangunkan mu" ucapnya.
Aku sedikit gugup akibat tatapan Edwin tadi, "Emm... tidak-tidak, kamu masuk saja aku mau ke kamar mandi untuk membasuh muka".
Edwin mengangguk, ia masuk ke dalam kamarku dan duduk di atas kasur sementara aku berjalan keluar menuju kamar mandi. Dari sudut mataku terlihat Edwin sedang mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, namun aku tak begitu menghiraukan nya.
Aku kembali ke dalam kamar dengan rambut yang basah, Edwin langsung memberikan handuk kecil yang tergantung di dekat lemari.
"Katanya hanya membasuh muka, tapi sampai rambutmu basah seperti ini. Keringkan pakai handuk jangan sampai kamu masuk angin" ucapnya berdiri dan memberikan handuk itu.
Aku hanya tersenyum sambil mengeringkan rambutku.
"Kamu ada apa kemari?" tanyaku.
"Sebenarnya aku tak ada kepentingan, tapi aku hanya ingin bertemu denganmu" jawab Edwin.
"Maaf tadi kamu harus menunggu"
"Ah tak apa, salahku datang terlalu pagi" ungkapnya.
"Bagaimana kabar.."
"Bagaimana kabar.."
Aku dan Edwin tanpa sengaja melontarkan pertanyaan yang sama dan waktu yang bersamaan. Seketika itu kami tertawa.
"Kau jangan bersikap gugup kepada kekasih mu ini" ucap Edwin sambil mengelus lembut rambutku yang masih basah.
Aku tersenyum tersipu ketika Edwin menyebutnya kekasihku.
"Cepatlah kau bersiap-siap aku akan mengajakmu ke suatu tempat" ucap Edwin lagi.
Seketika itu aku langsung berdiri dan membuka lemari baju, aku mengeluarkan dia gaun yang menurutku bagus dan memperlihatkan nya kepada Edwin.
"Lebih bagus gaun yang mana?" ucapku dengan antusias.
Edwin hanya tersenyum, "Kau memakai apapun tetap cantik" ucapnya.
"Aku tak butuh gombalan puitis mu itu, aku butuh saranmu" ucapku dengan kesal.
"Baiklah, yang bunga-bunga itu saja. Bunga itu cantik sepertimu, aku rasa ketika kamu memakainya semua bunga akan iri melihatmu" ungkap Edwin.
Tak tahan dengan gombalan mautnya, aku mendorong nya keluar dari kamar sambil tersenyum malu.
"Sudah sudah, kau pergi dulu dari kamar aku hendak berganti pakaian" ucapku.
Edwin menurut, ia keluar dari kamarku. Aku mengunci kamar dan bercermin sembari memakai gaun yang di sarankan oleh Edwin.
Gaun itu memang bagus di penuhi dengan gambar bunga-bunga yang indah. Aku memakainya dan terus memandangnya dari balik cermin.
Aku membuka pintu dan terlihat Edwin yang telah menungguku dengan antusias. Edwin melihatku dari bawah ke atas dan tersenyum, "Cantik sekali kekasihku" ucapnya.
Aku duduk di depan cermin meja rias dan mulai memakai lipstik merah muda yang tempo hari Cornelia berikan. Edwin berdiri di belakang ku mengambil sisir yang ada di meja dan mulai menata rambutku.
Edwin mengikat setengah rambutku dan membiarkan setengahnya lagi terurai indah. Ia membalikkan tubuhku dan kami saling bertatapan ia menatapku dalam, "Cantiknya" ucapnya dengan lembut.
"Kita akan kemana hari ini?" tanya ku dengan gugup."Ke tempat yang indah di pinggiran kota ini" jawab Edwin.
Edwin membuka lebar pintu kamar dan mempersilahkan ku keluar terlebih dahulu, "Silahkan keluar terlebih dahulu nona" ucapnya. Aku sedikit tertawa geli.
Sebuah sepeda tua khas jaman itu terparkir di halaman rumah Pieter, aku memandangnya karena di jamanku sekarang sudah hampir tak ku temui jenis sepeda seperti itu.
Edwin menghampiri sepeda itu dan menaikinya, "Ayo kita naik sepeda ini untuk sampai ke tempat itu!".
Dengan antusias aku berlari menghampiri Edwin dan duduk di belakangnya. Edwin pun mulai mengayuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret Destiny
أدب تاريخيTerdengar tak logis ketika kita mendengar kata menjelajah waktu, namun entah bagaimana caranya Annalee berhasil ditarik ke dalam kehidupan masa lalu Kakeknya. Tak ada misi penting ataupun pesan yang harus Annalee selesaikan di zaman itu ia hanya ing...