BERSAMA EDWIN

42 8 0
                                    

Aku dan Edwin ber jalan-jalan di taman milik keluarga Pieter. Taman itu begitu luas dan indah, dengan bunga-bunga yang bermekaran dan suara kicauan burung yang merdu.

Edwin menghela nafas, "Maaf An, seharusnya aku memberitahu mu sejak awal. Tuan Hans orang yang terlihat ramah namun sebenarnya ia sangat bengis" ucap Edwin menatapku.

Mendengar itu aku tak tahu harus berkata apa, aku menatap kembali Edwin. "Edwin seharusnya aku yang meminta maaf, lihat luka di wajahmu saja masih belum kering" ucapku.

Edwin hanya tersenyum, "Kejadian ini bukan hanya sekali dua kali mungkin aku sudah terbiasa dengan ini. Hanya saja tempo hari pukulannya lebih keras dari biasanya, aku penasaran darimana orang itu mempelajarinya".

"Lantas mengapa kau repot-repot datang kemari? Seharusnya aku yang mengunjungi mu" tanya ku menatap dalam Edwin.

"Aku teringat ketika aku sedang terbaring di kamar kau menghampiriku sambil menangis dan meminta ku untuk menolong mu. Maaf Ann aku terlambat, syukurlah tidak terjadi sesuatu yang besar kepadamu" ungkap Edwin.

"Jadi... Kau mendengarnya?".

Edwin mengangguk, " Aku mendengar semuanya".

Annalee hanya tertunduk malu, "Maaf".

Kedua tangan Edwin memegang kedua pipi Annalee dan mengangkatnya, "Berhentilah meminta maaf padaku".

Annalee mematung dan tak bisa berkata-kata.

"Maaf jika dulu sikapku buruk kepadamu, izinkan aku memperbaikinya" ungkap Edwin berbisik pada telinga sebelah kanan Annalee.

"Edwin, aku sungguh senang ternyata kau bersikap baik kepadaku" jawab Annalee.

Edwin hanya tersenyum, "Berterimakasih jugalah kepada Pieter dan Cornelia yang telah menjaga mu".

Annalee tersenyum dan mengangguk, Edwin mengelus lembut rambut Annalee.

Edwin dan Annalee duduk di bangku panjang di Taman, Edwin menghela nafas beberapa saat sebelum ia mengatakan sesuatu yang serius.

"Ann, seharusnya kau tahu aku akan berbicara mengenai apa" ucap Edwin dengan suara yang berat dan serius.

Annalee hanya diam menatap Edwin dengan kebingungan.

"Kabar kau melarikan diri dari Tuan Joan telah sampai kepada Tuan Hans. Tuan Joan meminta uangnya yang tak sedikit itu kembalikan, tentu Tuan Hans sangat murka. Ia pasti berusaha mencari keberadaanmu, saranku kau jangan pernah kembali bersekolah di HBS. Bagaimanapun Tuan Hans lah yang mendaftarkan mu disana, tentu para pengajar akan melaporkannya kepada Tuan Hans jika Tuan Hans menanyakan mu" ungkap Edwin.

Aku menghela nafas dan mencoba memahami kata demi kata yang disampaikan Edwin.

"Tapi kau tenang saja, di sini kau aman. Pieter, Cornelia, Tuan Willem, Nyonya Liv, semuanya orang baik. Aku mengenal keluarga ini dari kecil, dan mereka sama-sama tak menyukai Tuan Hans. Di sini jugalah tempatku melarikan diri sejenak dari neraka itu" lanjut Edwin.

"Edwin sebenarnya aku terlalu takut berasa di sini, tapi aku percaya padamu" ucapku.

Edwin hanya tersenyum, lalu beberapa saat kemudian terdengar suara tertawa seseorang dari kejauhan dan mendekat. Suara itu berulang kali memanggil nama Edwin, dari terdengar samar hingga terdengar jelas.

"Edwin! Edwin!".

Edwin dan aku menoleh secara bersamaan, ternyata itu Cornelia dengan seorang perempuan berkulit putih mengenakan gaun dan topi berwarna putih. Cornelia tersenyum sambil melambaikan tangannya dan datang menghampiri kami.

"Edwin, apa kabar kamu? lama tidak bertemu!" sapa Cornelia.

"Edwin ada apa dengan wajahmu? seperti orang yang habis dianiaya saja" balas perempuan itu.

"Kabar baik Nona Cornelia, wajahku baik-baik saja Nyonya Liv" jawab Edwin dengan sopan.

Mendengar nama Nyonya Liv, aku teringat jika nama itu adalah nama Ibu dari Pieter yang artinya dia adalah Nenek Buyutku.

Aku menyapanya sebagai tanda hormat, "Nyonya Liv saya Annalee, terimakasih sudah menerima saya di rumah mu Nyonya" ucapku sedikit membungkuk.

Nyonya Liv tersenyum, "Ah tidak apa, sesama manusia memang harus tolong menolong. Lagi pula kau tidak memiliki siapapun di sini dan kau di jebak oleh si pria brengsek itu" ucapnya.

"Mari kita mengobrol di dalam saja sambil menikmati teh" ajak Cornelia.

Akhirnya aku, Edwin, Cornelia dan Nyonya Liv berjalan menuju ruang santai di rumahnya dengan meminum masing-masing secangkir teh hangat sambil berbincang.

The Secret Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang