HARI INI AKU PAMIT

63 11 0
                                    

Malam yang sunyi di temani sinar rembulan, aku masih terjaga kala itu duduk di kursi yang biasa ku pakai untuk berhias diri. Aku terlarut dalam lamunan dan memikirkan kehidupan asli ku, aku mulai bertanya-tanya kepada diriku sendiri "sebenarnya aku ini siapa?".

Lamunanku langsung buyar seketika mendengar suara petir dari langit yang padahal kala itu suasananya sangat terang dan tenang. Aku meniup lampu minyak tanah yang berada di kamarku sehingga kamar itu menjadi gelap.

Aku merebahkan tubuhku ke kasur dan mulai memejamkan mata. Tak sampai lima menit kini aku benar-benar tertidur.

Di dalam tidurku, aku berada di tempat kosong yang sepertinya tak asing bagiku. Tempat itu benar-benar kosong tak ada bangunan apa-apa yang terlihat hanyalah ruangan luas yang tak bisa ku ukur luasnya. Aku kembali teringat di sini lah tempatku bertemu perempuan yang mengenakan kebaya dan sanggul.

Tapi sekarang perempuan itu tak ada di sini, aku berlari dan mencarinya kesana kemari namun hasilnya tetap nihil. Aku meneriaki namanya "GARNINGSIH!!".

Tak tahu berapa lama aku terjebak di tempat asing ini sendirian dengan segenap tenaga yang tersisa aku memanggil namanya sekali lagi.

"Garningsih dimana kau?!".

"Nek Ningsih..." kali ini aku sudah menyerah, dengan isak tangis aku menundukkan pandangan ku dan pasrah jikalau aku harus mati dalam mimpiku sendiri.

Di tengah keputusasaan itu seseorang mengulurkan tangannya dan hendak membantuku berdiri. Aku memandang wajahnya, ia adalah Garningsih nenekku.

Aku berdiri dan langsung memeluknya, Garningsih membelai lembut rambutku bak kasih sayang seorang nenek kepada cucunya meskipun pada saat itu mungkin wanita yang ku panggil Nek Ningsih masih berusia sekitar 30 tahunan.

"Sudah cukup kamu bermainnya, sekarang pulang lah" ucapnya dengan lembut.

Aku menatap heran kepada Nek Ningsih, maksudnya untuk menyuruhku pulang itu apa.

"Kamu adalah cucuku, pulanglah ke asalmu dan kembalilah menjadi cucuku. Biarkan kejadian ini untuk membuatmu belajar banyak hal tentang kehidupan" ucapnya lagi.

"Tapi Nek, Garningsih, Pieter, Edwin, Cornelia, Nyonya Liv, Tuan Willem, Kartika dan Cakra..." tanyaku dengan terbata-bata dan gugup.

Nek Ningsih terlihat tenang dan tersenyum, "Mereka tetap menjadi bagian dari sejarah di dunia ini, dunia terus akan maju jadi kau sebaiknya kembalilah" ungkapnya.

Aku terdiam dan tak mampu untuk berkata-kata lagi, rasanya begitu campur aduk dan membingungkan. Sebenarnya dunia itu yang mana? Dan sekarang aku ada dimana? Apakah aku ada di antara dua dunia ini?.

"Ku lihat kau masih bingung, ndak apa apa sekarang kau kembali saja ke dunia aslimu. Aku rasa kamu sudah cukup untuk berpamitan kepada semuanya. Ingat kami di sini mencintaimu"

Aku mengangguk tanpa berpikir panjang, yang aku pikirkan hanyalah kebenaran bahwa dunia hanyalah satu yang lainnya hanyalah fatamorgana belaka.

Nek Ningsih tersenyum sebelum ia menghilang di telan cahaya. Kala itu aku kembali sendirian. Tapi tak lama cahaya itu muncul kembali dan seperti menyedot ku.

Aku tersenyum sambil menitihkan air mata.

"Edwin hari ini aku pamit, tetaplah jadi manusia yang berguna dan rendah hati, kau laki-laki yang ku cinta meskipun pada akhirnya semesta memintaku kembali namun hatiku masih terisi dengan bayang-bayangmu"

Cahaya itu kian membesar dan menyedot ku masuk.

Aku terbangun dari tidurku yang sangat melelahkan karena jam weker tua milik kakek berdering mungkin seisi rumah bergetar karenanya. Aku bangun untuk mematikannya sampai akhirnya nyawaku terkumpul dan aku tersadar sesuatu, aku berada di jamanku kembali.

The Secret Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang