Chapter 6 : Place To Remember

239 34 0
                                    

Malam itu tentram sampai berita titan kesayangan Hanji mati pada esok hari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Malam itu tentram sampai berita titan kesayangan Hanji mati pada esok hari. Levi beserta regu khusus datang ke lokasi percobaan Hanji, tempat kedua titan itu dikurung. Wanita itu berteriak histeris, tak menerima titan yang menjadi langkah tambahan menuju kebebasan mati tanpa tahu siapa pembunuhnya. Penyelidikan dimulai. Orang yang dicurigai adalah para kadet baru.

Pada malam berikutnya. Erwin datang ke tempat pelatihan militer, menjemput calon-calon prajuritnya yang pemberani. Dengan sedikit pidato yang mengungkap rencananya untuk mempertaruhkan nyawa menuju Shiganshina, ruang bawah tanah rumah Eren.

Bukannya menarik minat kadet baru masuk dalam divisi pasukan pengintai, pria berambut klimis itu malah menakut-nakuti mereka. Namun, pemikirannya jauh beberapa langkah ke depan. Misi kali ini untuk merebut kemenangan dari makhluk tak berakal.

Di sisi lain. Eren membersihkan kandang kuda markas di awasi Oluo. Ketika keluar, ternyata teman-teman satu angkatannya melintas tak jauh dari posisinya. Ia menghampiri, melakukan reuni kecil dalam markas, meski suasana saat itu sungguh membuat kebanyakan canggung. Lalu bubar tanpa sepatah kata.

Eren ikut melangkah pergi saat dirasa tempat berkumpul mereka hampir sunyi. Mikasa menahan satu tangan lelaki yang dianggapnya—hanya—keluarga. Armin yang bersisian dengan pemilik manik emerald itu ikut berhenti ketika langkah berhenti.

"Ada apa, Mikasa?" tanya Eren, menatap wajah Mikasa yang nampak sendu.

"Bibi [Name], dia terlibat dalam penyerangan itu." Wajahnya datar, tapi jelas tidak bisa menyembunyikan raut sedih dari mata. "Penyakitnya juga terlihat lebih parah."

Eren dan Armin sama-sama syok. "Kau bertemu dengan Bibi [Name] saat evakuasi?" tanya Armin spontan, diikuti anggukan kecil gadis berambut hitam mengkilat itu.

"Saat itu penyakit di kepalanya kumat seperti saat pagi, tapi dia berusaha menahannya." Mikasa kembali menyahut.

"Jika Bibi [Name] dievakuasi mungkin sekarang dia sudah aman di rumahnya, kita tidak perlu terlalu khawatir. Bibi kita kuat." Armin menepuk punggung kedua temannya sekaligus mengirim energi positif dari kalimatnya agar temannya fokus berlatih. Mereka mengangguki, percaya dengan Armin.

Alih-alih mengkhawatirkan [Name], tidak ada yang mengetahui keberadaan wanita itu sendiri saat ini.

Hari itu, dengan langkah goyah [Name] berjalan memasuki perahu besar yang akan mengangkutnya menuju tembok terdalam. Keadaan belum menentu sehingga mau tidak mau mereka mempersiapkan banyak hal lebih baik dibanding lima tahun lalu. Kala itu, ia bersama tiga bocah, beda lagi dengan saat ini. Cukup beruntung baginya menjadi penumpang terakhir di perahu ini.

Sampai di sana, para pengungsi menerima tatapan tidak mengenakkan dari bangsawan—warga kelas atas. Bukan [Name] namanya kalau dia mengambil hati cibiran keras itu. Dirinya hanya mengingat ia tengah berjalan menyusuri lautan manusia yang kini hanya mempedulikan diri sendiri. Kakinya menuntun perjalanan yang terasa sangat panjang. Sampai kakinya goyah, jatuh dalam sebuah gang gelap. Berikut, tubuhnya seperti diangkat seseorang.

Reflections Of Time (Levi X Reader)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang