Suasana keluarga Dion hanya sunyi. Tak ada satupun aktifitas di rumahnya kecuali dalam kamar.
Di kamar Indira, dira hanya bisa memeluk boneka sinchan kesayangan Dion yang dulu Indira belikan untuk kado ulang tahun Dion.
Simbok hanya terduduk di dekat kompor masak nya. Ia berkali kali meminta untuk dirinya agar segera bangun, menyemangati suami dan anak bungsu---- ah, anak tunggal nya. Tapi, entah, rasa nya ada lem yang menempel pada kaki dan lantai dapurnya.
Sedangakan Bapak? Bapak sibuk mencangkul di kebun nya. Ia masih terbayang ada Dion di sebelahnya yang membantu Bapak saat capek mencangkul.
"A'a, Indira teh kangen. Kapan A'a pulang? Iya deh, a'a mani imut kayak sinchan. Ayo pulang," Indira terus bergumam, "Bukan ikeu yang Diajeng pengenin. Diajeng mau nya A'a pulang. Aing teh kesepian disini."
Suasana rumah Dion begitu mengenaskan. Rumah yang pernah hancur dan hampir cerai itu kembali di bangun oleh Dion. Tapi, orang yang membangun rumah ini memilih untuk pergi.
Tak berbeda jauh dari rumah Dion. Rumah Aden, bahkan jauh lebih parah.
Keadaan Ibu yang tidak ingin makan selama 2 hari membuat hati Tyas semakin sakit. Kekuarga kecil tersebut telah kehilangan sosok pahlawan ganteng. Ayah nya, dan kini, Aden.
"Bunda, Tyas mohon. Ayo makan," Tyas mengetuk pintu kamar Bundanya cukup keras yang ketiga kalinya. Tapi, yang terdengar hanya isakan tangis indah sang ibunda. "Tyas tinggal di depan ya bun. Tolong di makan." sambungnya.
Bunda hanya menatap jendela dengan sedih. Di pinggiran jendela nya, ada sebuah foto yang tersenyum bahagia. Sosok paling cakep di mata Bunda.
"Aden, katamu nggak pengen ikut ayah? Ayah aja yang pergi, kamu jangan." melas Bunda.
Ayahnya Aden pergi mendahulukan mereka karena asma nya kambuh, apalagi saat menyetir. Akibat nya ayah Aden meninggal karena sesak napas dan kecelakaan.
Kejadian yang mengenaskan, Bunda bersumpah.
Bunda tidak mood untuk hari hari nya. Ia sudah lelah, penyemangat hidupnya telah pergi.
Namun, suara dari anak cantik nan sulung nya berulang kali berteriak memanggil namanya.
"BUNDA!! BUNDA!! TYAS PUNYA KABAR BAIK LOH. TAEYONG OTW KE JAKARTA!! BUNDA AYO KITA HEALING!!" teriak Tyas dengan kuat. "JANGAN SEDIH, AYOLAH BUNDAA..."
"BERISIK KAMU, ANAK SIALAN." entah mengapa mulut Bunda begitu enteng berbicara seperti itu. Tak hanya Tyas yang terkejut, namun juga Bunda yang tetkejut akan ucapannya.
Bunda keluar dari kamarnya. Pemandangan di epan kanarnya ada Tyas yang tengah menyender di dekat pintu kamar Bunda.
"Maafi Tyas nda. Tyas salah, Bunda maaf--"
Bunda memeluk erat tubuh Tyas yang berisi. Anak cantik yang selalu menemaninya selama ini, anak sulung yang mencukupi keluarga ini dengan bekerja menjadi model, anak sulung nan cantik satu satu nya Bunda.
"Maafin Bunda sayang..."
"Tyas juga salah. Maafin tyas bunda maaf..."
***
Alice menunduk saat polisi mengintrogasi nya. Alice tak ingin bicara apapun sama sekali.
Jolie membuka pintu ruangan Alice. Bersama dengan Rafka. Alice pun berdiri dan segera memeluk Dila.
"Aku takut.." bisik Alice. Jolie pun mengelus punggung Alice lembut.
"Everything its gonna be okay" Jolie pun membalas bisikan Alice. Jolie tersenyum. Walau dia juga tak baik baik saja karena Adzan yang koma.
Alice segera menuju kearah Rafi, yang dia inginkan bukan Rafka. Tapi apalah daya dia harus menerima nya.
"Gilang lagi nggak baik Alice. Maaf jika aku menggantikan Gilang. Dia dekat sama Dion, dan Bian juga sedang di rawat karena luka di perutnya." keluh Rafka. Alice mengangguk paham.
Setelah introgasi Alice yang cukup lama, akhirnya Alice keluar dari ruangan bersama Jolie dan Rafka.
"Thanks untuk semua nya. Aku harap Thomas dan Anjani di hukum seberat beratnya." Alice melihat foto orang tuanya lagi. Alice juga melihat bekas luka di perutnya. Dia terkekeh, miris sendiri melihat dirinya.
Rafka menepuk pundak Alice, "Gue pastiin mereka di hukum karena udah buat Zaidan, Aden, dan Dion pergi. Btw, gue duluan!" serunya.
Alice pun mendekati Rafka kembali, dia menyerahkan selembar kertas pada Rafka, "kasih Gilang ya, aku minta tolong"
Rafka pun mengangguk atas permintaan Alice, dia segera pergi menjauh.
"Tubuhnya kurus kali, gue yakin die mogok makan. Sape cobe yang nggak sakit? Gue aje ikut ngerasain" ucap polisi yang sedang mengobrol dengan temannya. Jolie dan Alice pun menurunkan bibirnya. Mereka juga sakit atas insiden itu, semuanya sakit.
***
"Mami aku baik baik aja, percaya deh" Bian sedang merayu sang ibu karena ingin Bian di rawat lebih lama lagi. Padahal keadaan Bian sudah baik.
Bian ingin pulang melihat keadaan teman temannya. Dia tidak baik baik saja, pasti temanmu juga.
Bian membuka pintu mobil milik Maminya. Dia yang menyupir walau sang mami tetap memarahinya.
Dia menurunkan mami nya di rumah sederhana nya. Segera Bian menuju rumah Rafka yang satu kota dengannya. Dalam perjalanan Bian pun terus menelepon Gilang.
Itulah Bian, selalu mengkhawatirkan orang lain disaat dirinya juga terluka.
"Ya bi?"
"Sersan habis nangis?"
Tak ada suara dari keduanya. Hanya terdengar suara sesegukan dari arah telepon. Rupanya, Gilang menangis lagi.
"Sersan, aku mohon ikhlas ya?"
"Bagaimana Bi? Apakah kau sudah ikhlas?" suara Gilang masih saja bergetar. "Kapten Arzan di rawat di dekat pangkalan militer. Keadaan nya menurun walau sudah sadar. Aku yang rumahnya jauh dari mana saja, rasanya sakit Bi"
Bian pun menggigit bibir bawahnya menahan air mata jatuh ke pipinya. "Maaf Sersan, aku nggak kuat"
Bian menutup telepon mobilnya. Dia memukul kencang setir mobil. Dia menangis deru di dalamnya.
"Aku mohon kembali seperti dulu.."
***
Rafka mengurung dirinya di kamar. Dia melihat undangan pemakaman Dion, Aden, dan Zaidan. Pihak militer pun meminta agar Rafka menjadi pemimpin pemakaman Aden.
Rafka benar benar tak tahu harus berbuat apa. Dia belum percaya Zaidan, Aden, dan Dion sudah pergi.
"Rafi ayo makan" pinta sang malaikat keluarganya.
Rafka menggeleng, "aku akan makan jika mereka kembali ke Ranggana"
***
Arzan menengok kesana kemari. Dia baru saja siuman. Walaupun dia sudah sadar, keadaannya terus menurun.
Arzan menangis, dalam pikiranmu selalu tersirat "kapten yang baik adalah yang merelakan dirinya daripada anggota nya"
Arzan menggelengkan kepalanya, dia terus menangis dalam masker oksigen yang dia gunakan. Kakinya pun mati rasa, tidak bisa di gerakkan.
"Aku mohon kembali kan 3 anggotaku" ucapnya dengan bergetar.
***
(NEXT CHAPT)
"Dimana mereka?" tanya Dila.
BRUK
"Kamu sekarang pasienku, Kesya."
Bukan Arzan yang berbicara, melainkan Rafka.
Pemakaman berlangsung hikmat hingga...
BRUK
***
AUTHOR ENGGAK BISA UPDATE MINGGU BESOKK. JADI THOR UP MALAM INI YAA.
SEMOGA KALIAN SUKA, JANGAN LUPA VOTE AND COMENT.
SARANGBEOO
KAMU SEDANG MEMBACA
FUTURE ELITE SQUAD
Ficción General7 insan indah dengan canda gurau sederhananya. Tapi, sebuah guncangan dahsyat menimpa bumi begitu hebat. Hingga tersisa satu raga. Apa yang harus satu raga tersebut lakukan? Hingga akhirnya mereka kembali karena adanya mesin waktu, namanya Ranggana...