#13 - BERLIAN MERAH

183 17 9
                                    

Ruby mengalungkan tangannya erat ke tangan kekasihnya Keiser. Mereka berdua dan Louise sedang berjalan ditengah keramaian pasar menuju istana. Ruby benar-benar merindukan keduanya, terlihat bagaimana sedari tadi ia tak mau melepas gandengannya dari Keiser dan bagaimana ia terus menyimak cerita Louise tentang perjalanannya dan teman-temannya tempo hari tak memperdulikan memar dan lukanya yang masih tertera jelas di wajahnya.

"Kau harus melihat bagaimana aku mencakar grasstroll itu, dan ciat! ciat! ciat! tumbang, ya walaupun dibantu Neil. Intinya raksasa itu besar sekali, Uby." Jelas Louise membanggakan dirinya sendiri didepan kembarannya.

Ruby tertawa, Keiser hanya geleng-geleng. "Kau tau sayang, saat ada di fearhalc yang ada dibayangannya adalah dirimu, dan tak sedikitpun ia berani melangkah karena itu akan menyakitimu. Aku muak melihatnya membanggakan dirinya tanpa menceritakan hal mengharukan itu. Dasar kembaranmu itu gengsinya tinggi sekali" Bisik Keiser ditelinga Ruby tanpa bisa Louise dengar karena serigala itu masih terus memamerkan dirinya.

Ruby melotot dan tertawa, lalu melihat kembarannya kembali. Setelah penjelasan mengharukan dari Keiser, Ruby menarik lengan Louise dan merangkulnya juga, "Kembaranku bukan gengsi, dia pasti cerita soal itu. Cuma saat ini, pamer kekuatan lebih dominan di otaknya." Kata Ruby. Ruby dan Keiser tertawa karena itu benar, Louise suka sekali pamer.

Louise hanya menautkan alisnya tak mengerti apa yang mereka bicarakan, membiarkan keduanya tertawa.

"Lukamu belum sembuh benar,Neil. Kau harus banyak istirahat, energi sihirmu pun belum pulih." Kata Contessa saat menemani Neil menuju istana. Hari ini adalah hari penantian panjang Aramoor. Gerhana Matahari 300 tahun sekali.

"Tak apa. Hari ini hari yang penting untuk Aramoor. untuk sahabatku, untuk Enrik, Tessa."

Memar dibibir dan patah tulang di sendi tangan Neil memang cukup parah akibat dibanting oleh grasstroll waktu itu, belum lagi luka dijidatnya.Contessa mengkhawatirkan Neil. Sudah dua hari namun Neil ataupun teman-temannya memang belum sembuh betul. Belum lama menyelesaikan kalimatnya, sendi tangannya terasa nyeri kembali. Ia mengaduh. Tessa menopang Neil.

"Kau tak apa? Sudah kubilang. Ibu pasti akan memaklumi jika kau tak hadir, Neil" Kata Tessa memeriksa tangan Neil yang sakit. Setelah memegang tangan Neil, tangan Contessa meraba bibir Neil, ia memeriksa kembali luka bibir Neil yang memang masih memar biru keunguan. Contessa sedang belajar meramu obat magis baru, jadi ia harus melihat progress dari racikannya sendiri. Namun perlakuan itu ditangkap lain oleh Neil, hatinya berdesir cepat, jantungnya seperti mau copot. Jarak ini dekat sekali. Contessa semakin mendekatkan matanya ke arah bibir Neil saat Neil berdehem dan melepas tautan topangan Contessa,

"Ekhem..."Ia salah tingkah sedikit. Tessa bingung, ia memaksa ingin memeriksa luka Neil kembali. "Tessa. Cukup. Jangan seperti ini, kau membuat ku repot." Kau membuat hatiku repot, ini yang benar harusnya. Contessa mundur, kata merepotkan sedikit menyinggungnya, ia hanya ingin menyembuhkan saudara tirinya itu.

"B-bukan. Maksudku, jangan terlalu mengkhawatirkanku. Aku tak apa.T-tessa bukan maksudku..Tessa tunggu."

Tessa tiba-tiba sudah berjalan mendahului Neil. Hatinya tentu tergores, kenyataan selama ini bahwa ia hanya anak pungut yang tak diinginkan keluarganya sendiri, belum lagi ia yang tak sehebat keluarga yang mengadopsinya, kata 'merepotkan' benar-benar menggores hati kecilnya. Hanya membuat obat satu-satunya keahlian dirinya selain sihir kecil, tak seperti Neil yang hebat bisa memanipulasi fikiran. Neil menarik tangan Contessa. Meminta maaf jika kata-katanya membuat Contessa marah.

"Aku tidak marah...Kau..Kau hanya sangat berubah. Apa salahku, Neil?"

Salahmu mengambil hatiku semenjak kau tumbuh dewasa seperti ini, Tessa. Batin Neil berteriak. Namun, apa pantas kata ini diucapkan sekarang?

SUNREALM CHAMBER || Enhypen Fantasy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang