Sajiwa Mahika Kamaniya, nestapa menjadi sahabatnya, perempuan yang dikira sempurna itu sebenarnya hidup dengan melankolia. Kala itu, pandangannya tidak terhenti kepada seseorang yang selalu mencuri perhatiannya. Lelaki itu selalu terpampang tepat te...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kini Sajiwa tengah menyelesaikan skripsinya di desk kamar. Banyak sekali buku-buku ensiklopedi dan beberapa kertas sks miliknya di meja itu. Kepalanya ini hampir meledak. Tetapi, tinggal hitungan langkah lagi, skripsinya selesai.
Tok tok tok
Terdengar ketukan dari depan pintu kamarnya. Sontak ia terbangun dari duduknya, dan membuka pintu itu.
"Lagi ngapain?" Tanya Sabumi, Kakaknya.
"Skripsian. What happened?" Sajiwa menjawab.
"Nih," Sabumi memberikan sebuah amplop kepada adiknya.
"Apa ini?"
"Dari Papa." Jawab Sabumi, ia memberikan sebuah amplop dari Ayah mereka yang diberikan kepada Sajiwa.
"I don't want to take it." Ujar Sajiwa kembali.
"Just take it." Sabumi meletakkan amplop itu di tangan Sajiwa sebelum akhirnya ia menutup pintu kamar adiknya dengan cepat.
Sudah lumayan Sajiwa tidak mendengar kabar dari Ayahnya, terakhir melihat wajah Ayahnya secara nyata saja ketika terakhir ia melihat Ayah dan Ibunya bertengkar hebat di rumah.
Namun, tanpa kabar apapun, tiba-tiba Ayahnya memberikan amplop yang kini digenggamnya.
Sajiwa duduk di ranjangnya, kemudian membuka amplop itu dengan hati-hati. Isinya adalah surat.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rasanya sedikit sulit untuk meneteskan air mata, mengingat beberapa sakit yang ditorehkan oleh Ayahnya bertahun-tahun lamanya.
Namun, ia pikir, ia masih punya hati. Kemudian ia mengambil ponselnya dan segera mengetik sebuah pesan ke nomor yang tertera di surat itu.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.