2x+1≤5

134 12 0
                                    

Bab 2 : Terlambat

🥀🥀🥀

"Gilak! Bisa mati gue kalo kayak gini terus," gerutu gadis itu mengadu nasib.

Kara berlarian kecil di koridor sekolah yang sudah tampak sepi. Dia tidak peduli lagi dengan penampilannya yang bisa disebut kacau balau. Rambut yang sudah disisir dan diikat rapi sebelum berangkat sekolah sudah tak berbentuk lagi. Awut-awutan.

Kara terlambat lima menit pagi itu. Untung saja penjaga gerbang sekolah masih berbaik hati membukakannya pintu. Entahlah bagaimana nasib Kara andai saja tidak diijinkan masuk, apalagi kalau berita itu sampai terdengar ke telinga Ayah. Bisa mati Kara.

"Huh, kalo tau begini mending nebeng sama Arka aja tadi." Gadis itu kembali menggerutu. Menyesalkan nasibnya yang lebih mengutamakan gengsi.

Tadi, Kara tidak sengaja bertemu adik laki-lakinya itu di bagasi rumah. Arka juga hendak berangkat sekolah. Dia menawarkan tumpangan pada Kara, tetapi dengan sombongnya gadis itu menolak mentah-mentah.

"Mending gue susah cari angkot daripada berangkat bareng sama lo!" Begitu tuturnya tadi. Kejam tak berperasaan.

Sebuah pepatah mengatakan bahwa ucapan adalah doa, maka terkabulkan pula ucapan Kara. Hampir setengah jam menunggu di halte, baru ada angkutan umum yang melintas. Sejak saat itu, Kara sudah menduga nasibnya akan berakhir ke mana. Dia sudah tidak berharap banyak masih bisa mengikuti pembelajaran hari itu atau tidak. Tetapi, untungnya Kara tidak sampai dihukum.

Dan sepertinya, Kara akan menarik kata-katanya kembali. Pada kenyataannya, dewi kebaikan sedang tidak berpihak padanya hari itu. Di saat satu masalah sudah selesai malah muncul masalah lain yang tak pernah diduga. Rasanya Kara ingin mengerang sekeras-kerasnya.

Seketika Kara teringat akan ucapan gurunya yang pernah mengatakan, "Nikmatilah setiap masalah yang menghampirimu, karena masalah adalah bagian dari hidup."

Belum ada puluhan menit Kara meraup oksigen dengan bebas. Kara sudah harus berhadapan dengan satu orang lagi. Tidak sengaja Kara menabrak seseorang yang datang dari arah yang berlainan. Karena terburu-buru sampai Kara tidak memperhatikan sekitar. Sibuk pula Kara merapikan penampilan yang acak-acakan agar tidak mendapat fitnah dadakan dari mulut-mulut lemas teman kelas yang laknat-laknat semua.

Setumpuk kertas dalam beberapa map yang tidak Kara ketahui isinya berserakan di lantai koridor. Beberapa tercecer di ujung sepatu Kara hampir terinjak olehnya.

Gadis itu meringis melihat kecerobohan yang dia perbuat pagi-pagi, membuat orang bekerja dua kali. Segera Kara berjongkok membantu orang yang ditabraknya itu memunguti kertas-kertas. Usai dikumpulkan Kara beranjak mengikut pergerakan lelaki itu.

"Maaf. Gue lagi buru-buru," kata Kara tersenyum canggung sembari tangan terjulur ke hadapan lelaki itu.

Laki-laki berpostur tinggi dengan badan ideal untuk remaja seusianya mengambil alih kertas itu dari tangan Kara. Sudut bibirnya berkedut tipis. Pundaknya mengendik sekali. "Ah, enggak usah minta maaf. Itu terlalu berlebihan. Kita sama-sama salah," balasnya dan terkekeh kecil di akhir.

"Gue duluan." Merasa urusan mereka sudah selesai Kara beranjak dari hadapan lelaki itu. Tetapi belum selangkah, pergelangan tangannya sudah dicekal seseorang.

"Tunggu sebentar," cegah lelaki itu.

Kara menatapnya bingung. Tersirat protes yang memancar dari sorot mata gadis itu. Masalahnya dia sedang buru-buru, tetapi lelaki itu malah menahannya. Dia takut diintrogasi guru kimia yang akan mengajar di kelasnya pagi itu. Guru yang terkenal paling galak di seantero sekolah.

BagasKara : EfemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang