Bab 20 : Kemana Harus Lari?
🥀🥀🥀
"Ampun, Yah. Kara minta maaf. Kara tahu Kara salah. Kara janji tidak akan keluar malam lagi!"
Rintihan itu melengking, disertai suara cambukan gesper yang berkali-kali mengenai lengan dan punggungnya.
Seorang gadis yang berjongkok di bawahnya, menutupi kepala dan wajah dari amukan sang ayah sembari terus memohon ampun. Sama sekali Ananta tak pedulikan. Tangisan Kara yang menyayat hati justru semakin membuat Ananta gelap mata.
"Ampun! Ampun! Ini akibatnya kamu tidak patuh pada saya. Sudah cukup baik saya menampung kamu di rumah ini, setelah kamu membuat keluarga saya malu dan berantakan. Dan sekarang kamu mau berulah?" Ananta menghempaskan gesper yang semula terpasang rapi di celananya. Setelah menambah lagi satu lebam biru di punggung Kara.
Dada pria berkacamata bening itu naik turun menandakan emosi yang bergelora belum sepenuhnya padam. Bayang dari kejadian masa lalu terus menghantui, mengacaukan akal sehatnya hingga hilang kendali. Namun, Ananta tidak pernah menyangka akan berakhir menjadikan anak pertamanya sebagai samsak pelampiasan.
Ananta merasa, bahkan sangat sadar sikapnya sudah melampaui batas. Tetapi apalah daya, ego terlalu tinggi untuk sekadar mendekap bahu ringkih penuh luka.
"Maafin, Kara. Kara janji bakal dengerin kata Ayah. Tapi Kara jangan dipukul lagi, Yah." Gadis itu bergumam di sela-sela tangisannya, di balik lipatan kedua tangan yang menutupi wajah.
Sedikit tersentuh hati kecil Ananta mendengarnya. Sebelum kabut gelap kembali hadir di bola matanya, menutup rasa belas kasihnya.
Ananta berjongkok di hadapan Kara. Dipandanginya sejenak dengan raut benci, lalu tangannya terjulur mencengkeram dagu gadis tak berdaya itu agar mendongak.
"Liat wajahmu, semenyedihkan itu hidupmu." Ananta terkekeh, mengejek.
Sementara Kara menyelami manik hitam Ananta, mencari belas kasihnya di sana. Namun, Kara tidak temukan selain raut penuh dendam dan kebencian yang selalu tajam menyorotinya. Seakan Kara tak mendapat sedikit pun celah.
"Ayah, Kara capek. Kara boleh tidur?" Pertanyaan itu terlontar spontan dari bibir Kara. Nada suaranya parau nyaris terdengar. Terpancar sorot penuh harap di balik bola mata yang berkaca-kaca.
Gigi Ananta bergemeletuk. Emosinya kembali tersulut walau hanya sekadar mendengar penuturan biasa dari bibir gadis remaja itu. Makin erat pula cengkeramannya di dagu sampai Kara meringis menahan perih.
"Sakit, Yah." Kara bergumam yang sama sekali tak diindahkan oleh Ananta.
"Dasar parasit tidak tahu diri kamu! Lebih baik cepat menghilang dari muka bumi. Kamu lebih pantas mati. Di dunia ini tidak ada yang menginginkanmu, bahkan ibumu sekalipun," kata Ananta begitu jahat. Tanpa memikirkan bagaimana remuknya hati Kara setelah mendengar itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BagasKara : Efemeral
Roman pour AdolescentsCover by canva Tentang Kara yang tidak pernah mendapat bahagia oleh semesta. Dan, tentang Bagas yang menemani wanita berbeda keyakinan dengannya mencari cercah keping-keping kebahagiaan yang bersembunyi di balik kelamnya malam. *** Start : 01 Oktobe...