ln e⁹

62 5 0
                                    

Bab 9 : Pelaku yang Berlagak Korban

🥀🥀🥀

Dulu, guru SMP Kara pernah berkata, "Jika suatu ketika Anda terkena musibah, bukan pertanyaan mengapa ini terjadi yang dikeluhkan. Tetapi, untuk apa hal ini terjadi."

"Berproses-lah dari pengalaman tersebut," sambung sang guru sembari tersenyum tipis.

Pun sekarang, Kara baru paham apa maksud tersirat dari ungkapan gurunya. Meski sudah bertahun, tetapi kata-kata itu terus tertanam dalam kepala Kara. Pepatah yang dulu Kara bantah keras dan sekarang justru diiyakan.

Sejatinya, kita harus tercemplung dulu ke kubangan lumpur agar tahu bagaimana rasanya jika suatu saat nanti bertemu jurang di sepertiga jalan hingga terperosok ke dalam.

Belajar dari kisah asmara Kara. Terlalu mencintai sampai lupa bahwa dia pun bisa jatuh oleh perasaanya sendiri. Seharusnya Kara tidak pernah berharap lebih pada segala sesuatu yang ada di muka bumi ini sebab semuanya bersifat sementara, tidak ada yang amerta.

Semua bisa diambil olehnya kembali jika berkehendak tanpa berpatokan pada sang waktu. Tetapi, dari semua itu ada satu hal yang Kara paling benci. Pertemuan yang berujung perpisahan, dan Kara tidak bisa melakukan apa-apa termasuk mencegah hal tersebut terjadi.

Diam, menyaksikan pundak bayang-bayang itu perlahan menghilang. Menanti keping-keping kehancuran itu melahapnya habis. Alih-alih merasakan euforia membuncah dada, justru disforia tak berujung yang menyesakkan.

Kara kira obrolan sebelumnya dengan Alana sudah usai sebelum mereka terjebak dalam ruang mobil milik Reza. Nyatanya, pertemuan singkat tak sengaja mereka di sebuah cafe malam itu justru sebuah awal yang tak baik untuk Kara.

Karena pertemuan itu, Kara dipaksa flashback pada masa-masa rapuhnya. Karena pertemuan itu pula, kebenaran menyakitkan yang seharusnya tidak perlu Kara ketahui malah terbongkar tanpa sisa.

Kara akui skenario yang semesta rancang untuknya sungguh luar biasa. Selalu penuh plot twist yang membuat Kara kejut jantung.

Di jok tengah Kara duduk dengan kikuk. Mereka bertiga malah berakhir canggung, padahal Alana masih mengulas senyum dan menyapa ramah padanya tadi. Kara berdecih sedikit rasa sesal malah terjebak bersama dua orang yang Kara hindari. Kara tidak ingin dicap perebut, perusak hubungan, dan cap serupa lainnya. Sudah cukup gosipnya dulu yang sempat viral seantero sekolah tentang perselingkuhan Reza, sang pacar dengan sahabatnya. Kara tidak ingin mengulang sesuatu yang serupa meski tak sama.

Beberapa kali Kara memergoki dua orang di jok depan itu saling beradu pandang sebentar. Seolah mereka sedang berkomunikasi lewat mata. Hal yang justru membuat Kara justru dongkol dan mulai berprasangka yang tidak-tidak. Apa mereka sedang membicarakannya? Perasaannya mendadak tidak enak. Apalagi saat Alama menolehkan kepalanya menghadap Kara, lalu kembali melempar seutas lengkung tipis di bibir.

"Lo mau tau Liana ke mana?"

Satu adegan kejadian itu malah terekam ulang dalam ingatan Kara. Kara flashback pada pembicaraannya dengan Alana di sebuah cafe malam kemarin.

Ayunan langkah Kara terhenti. Kara sudah beranjak dari tempat duduknya---hendak berlalu dari meja yang ditempatinya sejak setengah jam yang lalu---saat kedatangan seseorang yang tiba-tiba menghampirinya.

Kara menolehkan wajahnya. Dua alisnya refleks bertautan mendapat pertanyaan seperti itu. Sudah dari lama Kara mencari jawabannya. Mencium bau-bau pembahasan serius, tanpa sadar Kara sudah mendudukkan bokongnya kembali di tempat semula.

"Memangnya Ana ke mana?" Pertanyaan balik itu meluncur dari bibir Kara setelah membiarkan keheningan sempat melingkupi.

"Ana-" Gadis dengan model rambut soft waves itu menggantung ucapannya. Dia seperti menunggu reaksi Kara.

"Ana lagi pengobatan ke luar negeri," lanjut gadis itu mengungkap.

Kerutan di dahi Kara bertambah banyak. "Pengobatan?" gumamnya mengulang satu kata yang paling menancap di kepalanya. Kemudian menatap kembali sosok pemilik bulu mata lentik itu, gurat wajah penuh tanya.

"Ana sakit? Sakit apa?" tanyanya beruntun, yang tadinya bermasa bodoh sepertinya mulai tertarik. Rasa penasaran Kara meronta-ronta.

Kebalikannya, justru keterkejutan yang menjadi respons gadis di depan Kara. "Loh, Ana enggak pernah ngomong sama sekali soal penyakit yang dideritanya?" Alana menatap Kara tidak percaya.

Kara terdiam untuk waktu yang lama. Kara terperangah oleh ucapan Alana. Sedikit rasa kecewa merasuk bercampur aduk dengan rasa sedih juga penasaran. Sebegitu tidak pentingnya kah Kara untuk Liana? Sebenarnya, gadis itu menganggapnya apa selama ini?

Greget melihat respons Kara yang hanya diam alih-alih menjawab pertanyaannya, Alana menghela napas. Alana lanjut menjelaskan bahwa Liana mengidap sebuah penyakit yang cukup ganas sejak masih kecil. Ginjal Liana rusak, maka dari itu perlu menjalani pengobatan intensif dan rajin check-up paling kurangnya dua kali dalam setahun.

Kara ingat beberapa kali gadis itu absen selama mereka bersama. Sedari dulu, sejak mereka duduk di bangku SD. Namun, setiap kali Kara tanya alasan gadis itu tidak datang sekolah, pasti alasannya tidak jauh dari, "tiba-tiba orang tuaku tugas di luar kota, jadi mau tidak mau aku harus ikut."

Atau kalau bukan, "kemarin ada acara keluarga besar dadakan. Mama Papa enggak sempat anterin aku ke sekolah saking sibuknya."

Kara tahu itu cuma alasan klise, tetapi anehnya Kara juga selalu percaya. Ah, lebih tepatnya tidak ingin bertanya lanjut. Menurutnya, itu privasi Liana yang tidak harus Kara campuri. Lagi pula, cepat atau lambat hal itu akan diketahuinya juga jika Liana sudah siap berbagi cerita dengannya.

"Ana drope. Mungkin pengobatannya akan memakan waktu yang lebih lama kali ini."

Satu fakta yang berhasil mengguncang Kara malam itu.

Meski bibir Kara terus berkata muak dengan sosok itu, jauh di dalam lubuk hatinya masih menaruh peduli. Pada kenyataannya, Kara tidak akan pernah benar-benar membenci Liana. Mereka sudah sedekat itu sejak kecil. Bohong jika semudah itu Kara melupakan banyak hal yang pernah diuntai bersama.

"Ana pengobatan di mana?" Kara mengulik informasi nyolot.

Alana terdiam beberapa saat. Akhirnya bibir gadis itu menampilkan kekeh sinis. "Enggak perlu repot-repot cari Ana, Kar. Dia udah pergi jauh dan enggak akan balik lagi," katanya malah terdengar ambigu di telinga Kara.

"Maksud lo?" Kening Kara berkerut samar.

Alana berdecih sembari membuang muka. "Bukannya ini yang lo mau?"

"Lo pengin Ana hilang dari pandangan lo, kan? Ana udah lakuin itu. Ana rela meninggalkan dan ingin melupakan semua yang ada di kota ini, termasuk kenangan buruk antara kalian bertiga."

"Demi lo, Kar. Ana lakuin itu semua demi lo. Meski perasaannya yang harus jadi korban."

"Lo itu cewek jahat Kara. Lo pelaku, tetapi berlagak layaknya korban. Lo udah rebut semua kebahagian Ana. Lo yang buat Ana pergi, Kar!" pungkas Alana berapi-api melampiaskan emosinya.

Beberapa pasang mata langsung menatap mereka risih.

"Cukup! Lo enggak tau gimana hancurnya dikhianati sama orang terdekat lo, makanya ngomong se-enteng itu. Lo enggak pernah ngerasain ada di posisi gue, Al."

Jika malam itu Kara naik pitam usai dikatai oleh Alana, maka berbanding terbalik dengan ekspresinya sekarang. Diam membisu dengan pandangan kosong ke depan. Dada yang terus berdegup kencang. Sesak yang menyeruak.

Tepat ketika mobil itu berhenti, cerita panjang lebar Alana dan Dino pun selesai. Perjalanan yang terasa cukup panjang dan cukup menguras emosi menepi di pinggir jalan sebuah bangunan megah.

Usai mengucapkan terima kasih untuk tumpangannya, Kara turun dari mobil. Seutas senyum yang tampak dipaksakan masih dia lemparkan pada Alana sebelum mobil itu melaju meninggalkan dirinya.

Tertinggal Kara dengan perasaan campur aduk. Gadis itu menunduk menatapi kedua ujung sepatunya. "Ana, maaf ...." Bibirnya bergumam pelan.

🥀🥀🥀

BagasKara : EfemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang