{[√(7)²] x [sec (⅓(π)]}

41 4 0
                                    

Bab 14 : Malam Minggu

🥀🥀🥀

"Serius nih, enggak papa gue gabung sama kalian? Gue enggak ganggu kencan malam minggu kalian, kan?" Untuk ke sekian kalinya, Kara melontarkan pertanyaan yang sama. Sungguh, Kara merasa tidak enak sama sekali jika kehadirannya menganggu kencan muda-mudi di depannya itu.

Di sebuah cafe pinggir jalan, salah satu tempat yang ramai menjadi tongkrongan anak muda khususnya di malam minggu, Kara dan sepasang kekasih itu duduk melingkar. Ditemani tiga gelas chocholate panas dan sepiring kentang goreng untuk cemilan. Kepulan asap tipis dari chocholate mengepul ke udara hingga aroma khasnya pun ikut menguar. Selain turut menambah nilai plus, lampu-lampu hias yang membentang di sepanjang dinding cafe juga memanjakan mata membuatnya terus melek.

Alana melengoskan pandangan sudah bosan mendengar pertanyaan yang sama terus Kara lontarkan. Hela napas gusar mengawali gadis dengan aksesoris dan style yang cukup berbeda dari biasanya itu untuk membuka suara. "Kara, udah berapa kali gue bilang. Lo enggak ganggu sama sekali. Udah, lo duduk di situ aja temanin kita," ujar Alana geram.

Kara memicingkan matanya. "Jangan bilang lo berdua mau balas dendam buat gue cemburu?" tebak Kara. Wajar, bukan, jika Kara menaruh curiga pada Alana dan juga Dino.

Lalu, Kara melempar tatapan remeh. "Aelah, kagak bakal mempan. Gue jamin seratus persen enggak bakal cemburu liat lo berdua," lanjut Kara percaya diri.

Alana dan Dino beradu pandang. Tawa keduanya menyembur. Alana sampai mengetuk meja cafe tak kuasa menahan gelitikan aneh dalam perut membuat meja mereka heboh, hingga menarik perhatian beberapa pelanggan cafe. Mungkin sedikit terganggu dengan ulah mereka.

"Kok, kalian malah ketawa? Apa yang lucu?" Kara ikut tertawa ringan. Keningnya berkerut menatap bergantian pasangan kekasih itu. Memangnya ada yang salah dengan ucapannya?

"Kara, Kara. Pikiran lo terlalu picik kalo lo mikirnya ke sana." Kembali Alana geleng-geleng kepala. Tawa kecilnya masih terdengar meski sedikit mereda.

Sementara Dino hanya menatap Kara dengan seutas senyum simpul. Namun, satu hal yang mungkin Kara atau pun Alana tak sadari. Dino yang beberapa kali mencuri pandang pada Kara sambil senyum-senyum aneh.

"Kalian udah lama nunggunya? Sorry banget, jalanan tadi agak macet."

Suara bass yang sangat familiar di telinganya menarik atensi Kara yang sedang menyeruput chocholate panas yang sebelumnya mereka pesan. Hampir tersedak Kara mendengar suara khas itu setelah sekian lama. Tepatnya, sejak dua minggu terakhir. Suara yang dulu pernah mengisi hari-hari Kara. Suara yang dulu Kara damba-dambakan dan akan merana jika tidak mendengarnya walau sehari saja.

Namun, kini justru sesuatu yang sebisa mungkin untuk Kara hindari. Sesuatu yang tak pernah dinantikannya lagi. Bersamaan dengan orangnya yang terpaksa memilih pergi, suara itu dan segala hal yang menyangkut tentangnya pun mulai pudar dari kehidupan Kara. Dan Kara perlahan lupa dan sembuh dari rasa sakit yang ditinggalkan.

Lain halnya dengan Kara yang diam mematung kala bangku kosong di sebelahnya berderit, Alana justru melebarkan senyum. Wajahnya tampak berseri-seri. "Datang juga lo, Bang," kata Alana menyapa.

Senyum manis itu terpatri indah di bibirnya. Kara melihatnya sekilas saat diam-diam melirik lewat ekor mata. Namun, cepat-cepat Kara memalingkan wajah dan mengubah raut wajahnya kian datar begitu ketahuan oleh sosok berperawakan tinggi yang mengambil tempat di sampingnya.

"Kabarnya gimana, Kar? Udah lama juga ternyata kita enggak saling sapa seperti ini?" Suara itu menyapa lembut telinga Kara.

Kita? Bohong jika Kara mengatakan hatinya tidak berdesir kembali mendengar nada lembut serak-serak basah itu. Akhirnya, Kara bingung sendiri hendak meresponsnya seperti apa. Haruskah Kara membalas sapaannya dengan---

BagasKara : EfemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang