(25.1/25)+(√22²)-1

66 3 2
                                    

Bab 22: Malam Natal

🍂🍂🍂

Malam 25 Desember, yakni malam perayaan kelahiran Kristus bagi umat kristiani. Natal sebutannya, perayaannya sekali setahun. Sejauh mata memandang, kerlap-kerlip lampu warna-warni yang mendominasi sudut-sudut kota yang biasanya berteman sepi. Boneka santa dan hiasan pohon natal berjejeran di pinggir jalan depan beberapa ruko yang masih buka.

Satu langkah menapaki jejak genangan air. Suaranya melantun memecah keheningan. Tampias rintik hujan masih bergelinyar di kaca-kaca ruko sepanjang jalan. Melodi tik-tik kecil menetes dari atas genteng. Bulan Desember memang kerap kali ikonik dengan musim penghujan. Setiap tahun umat Kristiani hampir merayakan malam natal di bawah guyuran hujan. Dingin, tetapi vibes-nya justru lebih terasa.

Dari kejauhan tepatnya di ujung jalan, sayup-sayup terdengar lantunan lagu Merry Christmas. Hiruk-pikuk di bulan Desember. Gadis di balik cardigan rajut maroon metalik itu diam-diam menikmati alunan setiap lirik. Lama-lama diresapi enak pula kedengarannya. Menenangkan. Tiap kilometer langkah yang ia tempuh sambil bersenandung kecil, mata terpejam pelan. Sepotong-sepotong liriknya dihapal. Seutas senyum yang ditarik memanjang di kedua sudut bibir terukir indah.

Hingga tiba pada suara dari belakang menyerukan namanya, tubuh itu mendadak membeku di tempat. Gadis itu berbalik dengan kerut samar di kening. Mendengar deru motor yang cukup familiar membuatnya penasaran. Bola mata keduanya bertemu tepat saat motor itu berhenti di sebelah Kara. Perlahan senyum di bibir luntur. Ada secercah rasa kecewa mencuat dari lubuk hati Kara saat harapan tak sejalan realita. Bukan seseorang yang didambakannya tiba.

"Kara, gue sangka salah orang ternyata emang benar lo," ujar laki-laki pengendara motor itu heboh.

"H-hai..." Kara tersenyum kikuk, melambaikan tangan di udara untuk menyapa sosok jangkung di depannya. Padahal dalam hati full dongkol.

Agaknya Kara harus ceritakan sedikit ciri-ciri sosok pria idamannya. Yang jelas Kara paling anti laki-laki berisik modal bacot doang. Kalau berisik dalam konteks public speaking mungkin bisa dipertimbangkan, seperti Arka misalnya. Banyak kaum hawa yang tergila-gila pada adik laki-lakinya. Bukan pesona tampang saja, tetapi juga pesona otak encernya. Tak menutup fakta bahwa Kara pun kagum.

"Ah iya, kenapa malam-malam masih berkeliaran di sekitar sini? Mana abis hujan," tanya Awan, laki-laki yang datang mengendarai motor Bagas.

"Abis nongkrong sama teman di cafe Taksa Rasa," sahut Kara seadanya sembari menunjuk salah satu di antara jejeran cafe pinggir jalan. Tidak salah, tetapi tidak benar pula. Kara memang habis bincang-bincang bersama tim penerbit yang beberapa waktu lalu meminang karya baru Kara di aplikasi wattpad.

Mulai dari penandatanganan kontrak kerja sampai strategi marketing yang akan dipakai dalam penjualan produk, juga membicarakan hal-hal random. Semua dibahas sampai hampir lupa waktu. Hujan yang sedari sore tadi mengguyur kota pun sudah reda. Entah berapa banyak puluhan ribu sekon yang mereka habiskan di cafe Taksa Rasa. Sebuah cafe pinggir jalan yang hampir tiap malam ramai pengunjung, didominasi oleh anak muda.

Awan membulatkan bibir sembari kepala manggut-manggut. Lain hal yang ditanyakan, lain pula yang menjadi fokusnya. Sejak menatap gadis itu, Awan sama sekali tak memalingkan pandangan. Terlanjur jatuh dalam netra indah itu, dan sepertinya cukup sulit untuk keluar kembali. Awan sudah jatuh terlalu dalam.

"Lo sendiri ... mau ke mana?" Kara menelisik Awan. Lamunan lelaki itu langsung buyar.

"Oh, ini mau anterin motor Pak Bos ke gereja. Soalnya tadi berangkat bareng Arine," jawab Awan sedetail mungkin.

BagasKara : EfemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang