"Kapasitas semesta terlalu sempit untuk kita. Sepertinya aku sudah melangkah terlalu jauh hingga tanpa sadar menaruh angan padamu. Padahal, jelas-jelas Tuhan kita berbeda. Mungkinkah kita bisa seamin meski tidak seiman?"-Kara
🥀🥀🥀
"Mungkin ini teguran dari-Nya, karena aku lebih mencintai umat-Nya. Tapi tidak dengan Tuhan-Nya. Aku tahu memilikinya itu mustahil, tapi sekali saja menjadi pemilik hatinya apa itu salah?"-Bagas
🥀🥀🥀
"Dari mana kamu, Kara?" Suara dingin itu menggelegar di ruang tamu yang sunyi. Cahaya lampu yang terang tampak menyorot sosok pria dewasa berperawakan tinggi dengan kacamata frame bening di sofa. Tatapan matanya memandang lurus seorang gadis dengan penampilan acak-acakan baru saja masuk ke dalam rumah.Gadis pemilik nama Kara itu berbalik memperlihatkan kedua kantung matanya yang sayu. "Ayah, kalau mau marahin Kara besok aja, ya. Kara capek banget hari ini. Kara boleh istirahat kan, Yah?" ujar gadis itu mengulum senyum. Bulu mata lentiknya berkedip pelan.
Ananta sedikit terenyuh dengan ucapan sang anak. Apa mungkin perlakuannya pada Kara sudah melewati batas hingga melukai batin gadis itu?
Ananta menggelengkan kepalanya, mengenyahkan semua rasa simpati itu dari benaknya. Anak dari rahim seorang pelacur seperti Kara tidak berhak mendapat kasih sayang darinya. Hanya Arka dan Aila yang boleh mendapatkan semua itu dengan bebas. Tanpa kekangan.
"Tidurlah sepuasmu. Kalau bisa jangan pernah bangun lagi," kata Ananta sangat sadis.
Kara menundukkan kepala. Air matanya luruh begitu saja. Hatinya mencelos mendapat kata-kata itu dari bibir ayahnya sendiri. Mungkin jika boleh memilih, dia lebih terima sang ayah yang memaki dan memukulinya sampai babak belur, asal tidak mendengar lontaran kalimat jahat seperti itu.
"Kamu hanya menyusahkan jadi anak. Tidak pernah sekali pun membuat orang tua bangga dengan pencapaianmu. Contohlah adikmu, Arka. Dia anak yang berprestasi. Beda denganmu yang hanya bisa membuat masalah sampai-sampai saya harus dipanggil ke sekolah."
Ananta merenggut kesal. Pria itu melenggang pergi dari hadapan Kara yang masih mematung di tempat, di undakan ketiga anak tangga.
Gadis itu diam meresapi setiap rasa sakit yang menggerogoti hatinya, menciptakan sesak yang tak berkesudahan. Selalu saja berakhir seperti ini, dibanding-bandingkan dengan Arka, saudara tirinya yang memang otaknya lebih encer dibanding Kara. Seperti kata Ayah.
Badan Kara luruh begitu saja menyentuh anak tangga. Rasanya dia sudah tidak punya tenaga ekstra untuk menghadapi kejamnya dunia. Andai boleh memilih sekali lagi, dia tidak ingin dilahirkan menjadi pribadi seperti saat ini.
Entah sampai kapan semesta akan berhenti mempermainkannya. Mungkin ketika nyawanya sudah berada di ambang kematian? Atau mungkin ketika rohnya benar-benar sudah meninggalkan raga?
Kara menertawakan nasib malangnya. Baru saja dia menerima pengkhianatan dari orang terdekatnya. Lantas, cobaan apa lagi yang akan dihadapinya?
Reza dan Liana, mereka tidak jauh berbeda dengan Ayah dan Ibu. Orang terdekat, tetapi justru penabur luka untuk Kara. Kara tidak pernah menyangka sosok lelaki sempurna yang selalu diidam-idamkannya selama ini, tidak ada bedanya dengan laki-laki berhidung belang yang acap kali menggoda Kara di luar sana.
Liana juga. Kara tidak pernah menduga sahabat dari kecilnya itu akan diam-diam menusuknya dari belakang. Diam-diam menghanyutkan.
Kepada manusia jenis apa lagi yang bisa Kara percayai sekarang?
🥀🥀🥀
Note : Nama tokoh Andreas (Adiknya Kara) diganti menjadi Arka dan Renata menjadi Alana.
![](https://img.wattpad.com/cover/352876622-288-k70647.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BagasKara : Efemeral
Fiksi RemajaCover by canva Tentang Kara yang tidak pernah mendapat bahagia oleh semesta. Dan, tentang Bagas yang menemani wanita berbeda keyakinan dengannya mencari cercah keping-keping kebahagiaan yang bersembunyi di balik kelamnya malam. *** Start : 01 Oktobe...