Bab 4 : Mengagumi Fatamorgana
🥀🥀🥀
Kebiasaan Kara setiap usai makan malam adalah berselancar di salah satu platform tempat dia mempublikasikan karya-karyanya. Berbekal laptop yang Ayah belikan di hari ulang tahun Kara yang ke-16 tahun. Kara bersyukur sekali kala itu. Untuk yang pertama kalinya Ayah repot-repot memberikan Kara hadiah di hari ulang tahunnya meski terkesan ogah-ogahan.
Kara tidak mempermasalahkan itu. Cukup bagi Kara mendapat kasih sayang sang ayah. Kara tahu di lubuk hati terdalam Ananta pasti ada setitik kasih sayang untuk Kara, tetapi terhalangi oleh rasa gengsi dan keras kepala. Karena mau bagaimana pun, Kara tetaplah darah dagingnya.
Tersenyum tipis Kara mengingat moment itu. Tiba-tiba dia punya ide untuk mengabadikan moment langkah itu ke dalam karya tulisnya. Kebetulan sekali dia sedang menulis sebuah novel inspiratif antara sang anak gadis yang sedang meluluhkan hati sang ayah yang keras agar mau menerima kehadirannya. Karakter perempuan yang sebetulnya adalah cerminan dari Kara sendiri.
Kara yang punya banyak harapan dan hanya bisa dia tuangkan dalam sebuah karya tulis. Kara yang selalu menggantungkan angan pada seuntai kalimat indah di setiap bab cerita yang ditulis. Cerita yang selalu berakhir bahagia, Kara berharap semoga kisah itu menular pada hidupnya meski sadar semuanya hanya fatamorgana. Harapan yang mungkin terdengar sederhana bagi banyak orang tetapi sangat berharga bagi Kara.
"Malam, aku ingin bercerita untuk ke sekian kalinya. Hari ini, ada yang berbeda dari Papa. Papa tiba-tiba membelikan hadiah di hari spesialku. Untuk yang pertama kalinya."
Ketik Kara di layar monitor itu dengan menggambarkan seorang gadis yang sedang memeluk boneka pemberian sang ayah sambil bercerita pada langit malam di balkon kamar.
Kara akhiri satu bagian itu dan memencet tombol publikasi. Kara tersenyum lega, menghentikan tariannya di atas keyboard laptop sembari merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku.
Kara melirik jam di dinding kamar. Sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Tidak terasa Kara sudah menjelajahi dunia imajinasinya selama kurang lebih dua jam. Tidak pernah Kara bosan. Selagi mood-nya sedang baik, Kara justru menyempatkan waktu itu sebaik mungkin untuk menyalurkan ide-ide yang sudah menumpuk di kepala.
Berselang dua menit setelah dipublikasikannya bab baru, langsung banyak notifikasi vote dan coment dari readers online Kara. Tetapi, dari sekian banyaknya komentar, Kara hanya selalu terpaku pada satu komentar dari akun pemilik username @aksa_12. Pemilik akun itu selalu berhasil membuat Kara baper entah dari kata-kata pujiannya untuk tulisan Kara, atau mungkin komentar untuk para tokoh cerita Kara.
"Tumben enggak koment," gumam Kara. Gadis itu mengerutkan kening saat men-scroll komentar dari para pembaca tetapi tak satu pun komentar dari pemilik akun @aksa_12. Biasanya juga dia yang selalu pertama kali meninggalkan komentar dan dengan secepat kilat Kara membalas komentarnya sebelum tertimbun oleh komentar-komentar lain.
Kara berdecak. Segera dia beralih untuk menghubungi secara pribadi pemilik akun itu. "Kak, ceritaku sudah update lagi nih. Ayo, mampir." Begitu ketik Kara di room chat-nya dengan si pemilik akun.
Kara masih setia memandangi isi chat-nya berharap dalam hitungan detik sudah dibalas. Tetapi hingga sampai pada menit kelima belas tak kunjung mendapat balasan. Kara tambah gelisah. Hatinya sudah tidak tenang. Seperti ada rasa tak suka yang mengganjal di hati. Seperti ada sebagian jiwa Kara yang pergi.
Mungkin karena doktrin yang sudah tertanam dalam pikiran Kara bahwa pemilik akun itu yang akan selalu pertama mengomentari karyanya. Kara sudah terbiasa. Hingga semuanya terasa aneh dan hambar ketika salah satu kebiasaan itu tidak dilakukan meski barang sehari.
KAMU SEDANG MEMBACA
BagasKara : Efemeral
Teen FictionCover by canva Tentang Kara yang tidak pernah mendapat bahagia oleh semesta. Dan, tentang Bagas yang menemani wanita berbeda keyakinan dengannya mencari cercah keping-keping kebahagiaan yang bersembunyi di balik kelamnya malam. *** Start : 01 Oktobe...