|√-(25)²|

32 2 0
                                    

Bab 25 : Dia yang Berbeda

🌱🌱🌱

Pagi-pagi sekali Kara sudah siap dengan seragam putih abu. Seragam yang dianggurkan selama kurang lebih dua minggu itu. Hanya terpajang di gantungan rak lemari. Kara duduk di depan cermin besar dan melepas lilitan handuk yang membungkus rambut. Krasak-krusuk rambut basah itu pakai handuk, lanjut dikeringkannya menggunakan hairdryer. Bunyi mesin cukup menggelitik telinga selama beberapa menit.

“Kara cepetan. Gue tinggal, nih!”

Kara melepas alat pengering rambut, suara lantang Arka menyeruaki dari lantai bawah.

“Iya, bawel!” Kara balas teriak. Bibir gadis itu bergerutu saat dipolesnya tipis dengan liptink merah muda. Padahal masih pagi sekali. Paling-paling satpam penjaga sekolah masih ngopi, gembok gerbang masih terkunci.

Kara bersyukur karena setelah itu tidak ada lagi seruan dari bawah. Jadi Kara bisa dengan santai memoles sunscreen ke beberapa titik bagian tubuh yang terekspos, seperti wajah dan leher.

“Lelet lu, Kar.” Cibiran Arka menyambut Kara di meja makan.

Sembari mengikat rambutnya, Kara melayangkan delikan tajam ke arah Arka. Lalu, Kara menarik kursi di sebelah Aila. Gadis kecil berseragam putih merah itu sejak tadi anteng menikmati sarapan pagi, tanpa terganggu oleh kerusuhan yang diperbuat kakak-kakaknya.

Kara mengulas senyum tipis. Mengambil beberapa helai roti tawar yang sudah diolesi selai cokelat kesukaannya. Berbeda dengan Arka dan Aila yang sarapan berat, Kara memilih menikmati sarapan paginya dengan segelas susu dan beberapa potong roti.

“Ayah mana?” tanya Kara kala menyadari salah satu kursi di meja makan kosong.

Semua pasang mata tertuju pada kursi kosong itu.

“Ayah sudah berangkat sejak tadi. Katanya, ada meeting pagi ini. Jadi dia berangkat lebih awal supaya tidak kena macet,” sahut Dania menjelaskan panjang lebar.

Kara bergumam kecil sembari manggut-manggut. Kara tahu Ananta pasti sedang berusaha membuat jarak dengannya. Kara sudah sangat hapal kebiasaan pria itu kala sentimen. Hela napas gusar menggiring penutup sarapan pagi gadis itu. Kara memilih meneguk tandas segelas susu yang dianggurkan sejak tadi.

Aila diam-diam mengerutkan kening sembari menelisik penampilan Kara, kakaknya. Sendok diletakkan di pinggir piring keramik usai suapan terakhir. “Kak Ara pake lipstik?” tuding Aila tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

Pertanyaan Aila cukup membuat Kara gelagapan. Pasalnya, Dania dan Arka langsung memusatkan atensi padanya. Alis tebal Arka terangkat sebelah, sementara sudut bibir berkedut meledek.

Liptink,” sahutnya jutek mencoba menetralisir semburat merah di pipi.

“Tumben.” Arka bergumam jenaka.

“Emang kenapa? Lagian, gue juga makenya tipis kali!” sergah Kara cukup nyolot, membela diri.

“Enggak, sih. Cuma aneh aja, Kak Ara kan enggak biasanya dandan apalagi sampe pake lipstik ke sekolah,” tutur Aila menatap Kara dengan muka polosnya.

Telak. Kara membisu tak mampu menyelak ucapan adiknya. Semua yang dikatakan Aila memang benar. Tak diungkiri, penampilan Kara saat ini mengundang tanda tanya besar. Gadis itu identik dengan kesederhanaan. Biasanya dandan ketika keluar untuk pesta saja atau ketika mengadakan reuni bersama teman-teman lamanya.

“Kakakmu kayaknya sudah punya doi tuh,” gombal Dania mengulas senyum jahil.

“Apaan, sihhh!” Kara memasang muka kesal padahal sedang salah tingkah.

BagasKara : EfemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang