21.1/21 x [√(3)² x √(7)²]

58 3 0
                                    

Bab 21 : Terima Kasih Sudah Bertahan

🍂🍂🍂

Jika ditanya apa yang membuatnya bisa bertahan hingga sekarang, Kara akan terdiam seribu bahasa. Dulu, mungkin Kara tersenyum dan menjawab, "Karena ayah. Aku bertahan karenanya."

"Aku ingin melunakkan hatinya. Aku yakin lambat laun ayah akan menerimaku sebagai darah dagingnya, dan suatu saat memanggilku 'Nak' dengan suara lembut. Tanpa bentakan. Tanpa makian."

Dan kini semua tinggal harapan. Harapan yang tak pernah terealisasi. Tidak ada lagi alasan untuk menetap, tetapi lenyap dari bumi pun bukan opsi yang Kara dambakan. Cukup batinnya yang lelah pernah mengharapkan sesuatu yang mustahil. Seperti menunggu pelangi yang sudah pudar untuk kembali---hanya kesia-siaan yang tertunda.

Kara tahu kehadirannya tak diinginkan. Kelahirannya di dunia hanya membawa petaka nestapa atas kehidupan orang lain. Kara lahir di keluarga yang masih terjebak dalam kubangan masa lalu. Kesalahan yang justru membuat Kara ada hingga saat ini.

"Kak Ara." Suara itu menyapu lembut gendang telinga Kara. Gadis yang entah sudah berapa banyak menghabiskan waktu hanya dengan berdiri di balkon kamar. Diam merenung, meratapi luka-luka yang masih bersemayam rapi menyiksa batin. Berharap bundaran jingga di ufuk barat tenggelam bersama separuh nelangsa yang menggerogoti jiwa.

Kepala itu menoleh ke samping, mengekspos raut suram, wajah berderai air mata. Terperanjat menyadari keberadaan si bungsu, tahu-tahu sudah meniru apa yang tengah dilakukannya---menumpukkan kedua tangan di pembatas balkon.

Kala kening si gadis belia mengerut, buru-buru Kara menghapus jejak lara ati pakai ibu jari. Sial sekali entah sudah ke berapa kalinya Kara dipergoki menangis oleh bocah ingusan yang tiada henti menatapnya bingung. Kara merutuk dalam hati.

Seulas senyum tersungging, walau terkesan memaksa. "Ai, sejak kapan di situ?" tanya Kara, nada suaranya lembut.

"Nangis lagi, Kak? Sakit, ya?"

Alih-alih menjawab pertanyaan Kara, Aila justru bertanya balik.

Bibir Kara berkedut. Belum sempat mengelak atas pertanyaan yang justru terdengar seperti tuduhan intimidasi untuknya, suara Aila kembali membuatnya bungkam.

"Aila sering diam-diam liat Kak Ara dipukuli Ayah. Punggung Kakak sampai luka-luka. Aila ngeri liatnya. Pasti sakit banget, ya, Kak?"

Benar, hanya sebuah pertanyaan polos dari anak kecil yang belum mengerti apa-apa. Sebagian orang mungkin menganggapnya biasa saja. Namun, tidak dengan Kara. Efeknya begitu besar sampai terasa mengoyak dada, memporak-porandakan hingga tak berbentuk.

Kara mematung di tempat. Bibir mengatup rapat. Tidak dengan suara-suara bising di kepala bak kaset rusak mereka ulang adegan lalu.

"Kak Ara teriak-teriak minta ampun tapi ayah enggak peduli. Ayah kenapa jahat banget, sih sama Kakak? Aila kadang pengen bantuin tau, tapi Aila mikir lagi. Kalau Aila ke sana, pasti kenapa marah ayah." Aila terus berceloteh, mengabaikan raut pasi Kara yang dipaksa mengingat ulang kejadian buruk yang hendak dilupakannya.

"Aila takut dipukul. Aila takut liat muka seram ayah kalo lagi marah," tandas gadis itu mengakhiri celotehnya. Benar-benar polos untuk anak seumurannya.

Kara menarik napas panjang lalu mengembuskannya pelan-pelan lewat mulut. Menetralkan raut wajahnya yang tak sedap dipandang. Ditariknya sudut bibir itu ke atas membentuk lengkungan tipis.

"Aila, lain kali kalo liat Kak Ara dipukul ayah lari aja, ya. Enggak usah ikut campur." Kara menggeleng-gelengkan kepalanya, memberi saran pada adik bungsunya.

BagasKara : EfemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang