Sebulan setelah Mara bergabung dengan perusahaan IT konsultan yang baru, Mira bersiap-siap untuk bergabung di kantor yang sama. Mereka berdua bekerja di kantor yang berdekatan, dan pertemuan mereka semakin sering.
Pada suatu sore yang cerah, Dewi, teman Mara yang telah bekerja di perusahaan tersebut selama setahun, mengajak mereka ke atap mal yang indah. Matahari terbenam merona merah jambu, dan kota di bawah mereka bersinar gemerlap. Mereka duduk di kursi taman, menikmati momen indah ini.
Dewi, dengan senyuman hangat, bertanya kepada Mira, "Mira, bagikan impianmu dengan kami. Apa yang kamu inginkan dalam karier ini?"
Mira merenung sejenak, matanya terpaku pada cahaya senja yang memantulkan warna di wajahnya. "Aku ingin menjadi ahli dalam pengembangan perangkat lunak yang dapat memberikan dampak positif pada masyarakat. Aku ingin menciptakan aplikasi atau teknologi yang benar-benar bermanfaat bagi orang banyak."
Mara, mendengar jawaban Mira, tersenyum dengan bangga. "Itu adalah tujuan yang mulia, Mira. Aku yakin kamu akan menjalaninya dengan gemilang."
Mira tersenyum balik, penuh semangat. "Terima kasih, Mara. Bagaimana dengan impianmu?"
Mara memikirkan jawaban dengan serius. "Sejujurnya, aku masih mencari impian yang tepat. Aku ingin meraih banyak pengalaman di sini dan mungkin suatu hari bisa merintis start-up sendiri."
Mira mengangguk setuju. "Itu juga impian yang menarik. Terkadang, perjalanan kita membentuk impian kita."
Dewi tertawa ringan. "Kalian berdua memiliki masa depan yang cerah di depan mata."
Ketika matahari semakin tenggelam, mereka memutuskan untuk pulang. Dewi akan berjalan kaki ke apartemennya yang berdekatan dengan mal, sementara Mira dan Mara akan pulang bersama.
Mira menaiki Vespa milik Mara, dan mereka berdua berangkat dari mal. Namun, di tengah perjalanan pulang, Mira tiba-tiba terdiam ketika melihat sebuah mobil yang melintas di sebelah mereka. Dadanya berdebar keras, karena dia menduga itu adalah mobil ayahnya. Tapi, dia ragu karena melihat ayahnya bersama seorang wanita di sampingnya.
Mara dengan cermat memperhatikan reaksi Mira dan segera memberikan saran, "Mira, bagaimana kalau kita mampir sebentar ke warung sate ayam pinggir jalan itu? Katanya mereka punya sate yang lezat."
Mira setuju, dan mereka mampir di warung sate tersebut. Mereka duduk di meja plastik, dan Mara, dengan kebiasaannya, membersihkan sendok, garpu, dan sedotan dengan tisu sebelum digunakan, bahkan untuk Mira.
Mira merasa tersentuh oleh tindakan perhatian Mara. "Terima kasih, Mara," ucap Mira dengan senyuman. "Kamu selalu begitu perhatian."
Mara hanya tersenyum dan menjawab, "Ini hal kecil yang bisa aku lakukan, Mira."
Mereka menikmati sate ayam yang lezat, dan selama makan mereka, Mira memutuskan untuk membuka topik yang sedikit berbeda. "Mara, apa menurutmu bahasa cinta yang kamu miliki? Baru-baru ini aku membaca buku tentang itu."
Mara berpikir sejenak, lalu menjawab, "Sepertinya aku tidak memiliki bahasa cinta yang spesifik. Bagiku, semua tindakan kecil perhatian dan kasih sayang memiliki arti besar."
Mira mengangguk dan tersenyum. "Aku rasa aku adalah tipe yang paling suka dengan 'act of service'."
Mara agak bingung. "Act of service? Apa itu?"
Mira menjelaskan, "Ini berarti bahwa aku merasa dicintai ketika seseorang melakukan tindakan yang menunjukkan perhatian mereka, seperti membersihkan sendok dan garpu untukku tadi."
Mara tersenyum, "Aku akan mengingatnya, Mira."
Setelah makan malam mereka, mereka kembali ke Vespa dan melanjutkan perjalanan pulang. Namun, di tengah perjalanan, Mira tiba-tiba mengubah topik pembicaraan.
"Mara, bagaimana pendapatmu tentang selingkuh?" tanya Mira dengan penuh kehati-hatian.
Mara memberikan jawaban yang berpikir panjang. "Selingkuh bukanlah jalan yang salah, namun itu juga bukan jalanku. Semua bergantung pada subjects dan konteksnya, Mira."
Mira merasa puas dengan jawaban itu dan melanjutkan, "Aku tadi seperti melihat mobil ayahku. Tapi aku tidak yakin. Dia ada di dalam mobil bersama seorang wanita."
Mara mendengarkan dengan penuh perhatian. "Apakah itu ibumu?" tanyanya.
Mira menggelengkan kepala. "Sepertinya bukan ibuku. Dia ada di rumah saat aku chat tadi."
Mara mencoba menenangkan Mira, "Mungkin kamu salah lihat, Mira. Terkadang, kegelisahan kita bisa membuat kita melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada."
Namun, Mira tetap merasa bingung dan takut. "Aku hanya takut, Mara. Takut ayahku selingkuh atau melihat aku sudah boncengan dengan cowo lain."
Mara dengan cepat memberikan komentar dengan candaan, "Jika kamu khawatir dia melihat kita, maka aku siap pasang badan."
Mira tertawa mendengar komentar lucu Mara, dan rasa tegangnya sedikit mereda.
Ketika mereka hampir sampai di rumah Mira, Mira berkata, "Terima kasih, Mara. Untuk semuanya, hari ini."
Mara tersenyum hangat. "Tidak perlu diucapkan terima kasih, Mira. Kita selalu ada satu sama lain."
Mira merasa hangat di dalam hatinya, mengetahui bahwa persahabatan mereka semakin erat dari hari ke hari. Mereka berdua tahu bahwa masa depan masih penuh dengan ketidakpastian, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka akan selalu saling mendukung satu sama lain dalam perjalanan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
PlotWish
Teen Fiction"Di balik setiap keputusasaan ada dunia baru yang menunggu untuk dijelajahi." Dalam usia "quarter-life crisis" yang penuh dengan pertanyaan tentang arah hidup dan keputusan besar, datanglah sebuah novel yang akan menggugah dan menginspirasi. "Plot W...