BAB 6 Mimpi Buruk

15 2 0
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Ayo sholawat dulu!🥰

اللهمْ صَلَّ عَلَى سَيّدِنَا مُحَمَّدِ ، وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا
مُحَمَّدِ
[Allahuma sholi ala Muhammad, wa ala ali Muhammad.]

Alhamdulilah, happy reading!

🕊️

Hari ini Lucy dan Dilla tidak ikut memantau seperti biasanya. Keduanya ada keperluan yang tidak bisa ditinggalkan dan berakhir dengan aku yang mengajar sendiri. Aku sempat misuh-misuh pada keduanya di grup chat, tapi, ya, mau bagaimana lagi? Aku harus datang ke Madrasah untuk menemani Bang Dzul dan teman-temannya mengabdi.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah lima sore tapi Bang Dzul dan teman-temannya belum juga datang. Apa mereka lupa, ya? Tapi sepertinya tidak mungkin. Atau aku yang salah hari? Tapi kulihat bahwa hari ini adalah hari Rabu, yang berarti bukan hari libur. Lagipula ini juga bukan tanggal merah, tapi kenapa para pemuda itu belum datang?

Sembari menunggu aku mengecek bacaan Iqra dan Qur’an murid-murid seperti biasa. Saat tengah fokus mendengarkan lafalan tulisan Arab aku mendengar deru motor yang beberapa hari ini selalu ku dengar.

Nah, datang juga! Batinku tersenyum.

Namun saat kulihat tangga itu bukanlah lima orang pemuda yang biasa hadir, melainkan seorang pemuda dengan wajah paniknya dan tergesa menaiki tangga itu.

“Talia! Talia!” Panggilnya membuat aku dan murid-murid lantas memusatkan perhatian pada lelaki itu.

“Kenapa, Kak?” Aku lantas bangkit dan menghampiri Kak Adnan yang masih terengah-engah.

“Bintang .. Bintang ..”

“Kenapa, sih? Yang bener, Kak. Ada apa?” Aku panik. Kak Adnan benar-benar tidak jelas memberikan informasi.

“Dia kecelakaan, meninggal di tempat.”

“Aaaaa!” Jeritku langsung terbangun dengan nafas yang memburu.

“Kenapa, Nak?” Ibu dengan paniknya datang dari arah pintu menghampiriku.

“Ibu .. Kak Bintang meninggal.” Ucapku menangis sembari memeluk ibu.

Ibu menerima pelukanku, bersamaan dengan itu Ibu juga mengerutkan keningnya heran.

Hush! Bintang siapa, sih? Temennya Dzul bukan?” Tanya Ibu dan aku mengangguk membenarkan.

“Kamu mimpi buruk kayaknya, Kak. Mana ada dia meninggal? Barusan Ibu lihat dia berangkat sama temen-temennya,” Ibu melepas pelukan yang aku eratkan sebelumnya.

“Makanya Ibu, ‘kan, udah pernah bilang jangan tidur habis Ashar, pamali.”

Aku masih terdiam.

“Kamu gak ngajar emang? Udah setengah empat loh ini.”

Mendengar itu lantas aku menatap jam dan beranjak terburu-buru untuk mengambil handuk lalu segera mandi. Dalam hati aku merasa lega sebab ternyata itu cuman mimpi.

TAKDIR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang