بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
Ayo sholawat dulu!🥰
اللهمْ صَلَّ عَلَى سَيّدِنَا مُحَمَّدِ ، وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا
مُحَمَّدِ
[Allahuma sholi ala Muhammad, wa ala ali Muhammad.]Alhamdulilah, happy reading!
🕊️
Hampir tiga bulan setelah aku menyatakan perasaan dan mengetahui informasi bahwa sosoknya sudah bertunangan aku menjadi lebih pendiam dari biasanya. Bertemu setiap hari, menatap setiap pagi jelas itu menyiksa perasaan ku sendiri. Walaupun hati ini terus mencoba untuk ikhlas tetapi tetap saja, sedikit perasaan kecilku masih berpusat padanya.
Acara reuni yang dimaksud tempo lalu sudah dilaksanakan sejak satu minggu yang lalu dan aku tidak bisa menghadiri nya dengan alasan sakit. Fisik ku yang sakit, bukan hati. Aku benar-benar sakit selama satu minggu. Itu sebabnya aku tidak ikut untuk acara reuni. Bahkan Dilla dan Lucy juga tidak ikut, katanya malu jika keduanya ikut bergabung yang bahkan notabenenya itu adalah acara pribadi mereka. Lagipula siapa kita? Satu fakultas saja tidak, kenapa ikut memeriahkan acara reuninya?
"Hey, tumben disini?" Suara itu membuyarkan lamunanku bersamaan dengan raganya yang ikut duduk di sampingku.
Aku tersenyum simpul, "lagi nyari tempat adem aja. Makanya ke taman."
"Keadaan lo gimana?" Tanyanya dengan raut yang sedikit khawatir.
Aku terkekeh kecil. "Udah mendingan, kok, makanya masuk kerja lagi."
Ya, selama satu minggu aku sakit, aku benar-benar tidak masuk kerja dan memilih mengerjakan laporan apapun itu di dirumah. Walaupun sebetulnya pekerjaan ku bisa dikerjakan dimana saja, jadi tidak mempengaruhi apapun dalam pekerjaan.
"Mbak Hindun nyariin lo, katanya dia mau ngasihin ini, tapi karena lo nya gak ada daritadi jadi beliau nitip ini ke gue." Ucap Mas Faiz yang memberikan sebuah paper bag biru yang berukuran cukup besar.
Aku menerimanya sedikit lemas. Melihat tulisan diluar paper bag itu membuatku menukik sejenak. "Mbak Hindun mau nikah?"
"Lah? Lo nggak tahu?"
Aku mengedikan bahu tanda tak tahu.
"Seminggu lo gak masuk, kantor heboh karena Mbak Hindun bagi-bagi undangan. Liat aja isi paper bag nya, mungkin ada undangan nya juga." Ucap Mas Faiz sebelum meneguk kopi dalam genggaman nya.
Aku mulai melihat isi paper bag biru itu. Bukan sebuah undangan yang ku lihat melainkan sebuah kartu ucapan berdesain indah membuatku seketika mematung dibuatnya.
"Lia? Kok, nangis?" Mas Faiz panik tatkala aku terus menunduk sembari terisak sesekali. "Heh, lo kenapa?"
Mas Faiz kebingungan untuk sekedar memberiku ketenangan. Ia tidak berani memeluk sebab memang bukan hak nya. Ia mengambil paper bag yang berada dalam pangkuanku dan mengeluarkan sebuah sapu tangan untukku. Mas Faiz benar-benar tidak tahu apa penyebabnya aku seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR
RandomBagaimana jadinya jika seseorang yang hadir dalam waktu singkat justru ternyata melekat dalam benak. Jika pertemuan disebut takdir, apakah pantas perasaan disebut juga sebagai takdir? Lantas, sebenarnya takdir itu apa? Siapa sangka kehadiran sosok B...