BAB 37 Saran yang Sama

7 2 0
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Ayo sholawat dulu!🥰

اللهمْ صَلَّ عَلَى سَيّدِنَا مُحَمَّدِ ، وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا
مُحَمَّدِ
[Allahuma sholi ala Muhammad, wa ala ali Muhammad.]

Alhamdulilah, happy reading!

🕊️

Aku pikir hari itu adalah sebuah mimpi indah bagiku karena sosok Kak Bintang benar-benar bisa kulihat jelas. Namun ternyata itu lebih dari sebuah mimpi, memang itu adalah kenyataannya. Balasan senyum yang Kak Bintang berikan seketika membuat perasaan ku benar-benar dikerumuni euforia kebahagiaan. Sosok yang selama ini aku tunggu hanya sekedar kabar, ternyata berujung raga yang kudapat.

Tidak banyak yang berubah dari Kak Bintang, ia selalu rapi dengan potongan rambutnya yang selalu menjadi ciri khas. Celana gombrang hitam yang selalu ia pakai, dan tak lupa kacamata yang bertengger di hidung bangir nya. Tapi ada satu hal yang berubah, jemari yang sedari dulu aku perhatikan begitu bersih dari segala aksesoris, kini ada satu jemari yang sudah dihiasi sebuah cincin.

Entahlah, aku tidak mau berpikir lebih tentang hal itu. Bisa saja itu adalah cincin warisan Abi nya.

Oh, iya, ngomong-ngomong soal Kak Bintang, kejadian aku yang terserempet anak-anak badung itu ternyata Kak Bintang yang menolongku. Aku sempat bertanya kepadanya kenapa ia tidak mau membuka masker dan topinya saat itu, ia jawab bahwa ia mengenali siapa yang terserempet, dan ia tidak mau lebih dulu memberitahu siapa dirinya.

"Heh! Ngelamun mulu, masih pagi tahu!" Suara itu jelas mengejutkanku dari lamunan pagi ini.

Tiga Minggu terakhir aku menjadi lebih semangat untuk bekerja. Meja yang berada disebelah tempat duduk Mas Faiz selalu menjadi tujuan pandangan ku setiap harinya. Bahkan beberapa kali aku tidak sengaja bertatapan saat Kak Bintang tengah duduk disana dan berakhir dengan kami yang saling tersenyum.

"Mbak Hindun?" Ucapku saat melihat siapa yang membuyarkan lamunanku. "Aaa! Akhirnya Mbak balik juga!" Dengan spontan aku berdiri dan memeluk Mbak Hindun dengan girang.

Mbak Hindun mencoba untuk melepaskan pelukanku. "Jangan loncat-loncat kamu, tuh. Bukannya lagi sakit kaki, ya?"

"Sakit kaki tiga minggu yang lalu, ya, ampun. Sekarang udah sembuh, tuh." Balasku sembari menggerakkan kaki dihadapannya.

"Mbak kok gak ngasih kabar kalau udah pulang, waktu pas berangkat juga kenapa gak ngasih tahu aku dulu? Tahu gitu aku anterin sampai bandara."

Mbak Hindun terkekeh sembari menarik kursinya. "Ngapain dianterin? Udah punya calon suami kok masih ngerepotin orang."

"Mbak dianterin calon suami, Mbak?"

Mbak Hindun mengangguk.

"Ih, berati udah ketemuan dong?!"

Mbak Hindun mengangguk lagi.

Aku menutup mulut sebab merasa kaget dan masih tidak percaya. "Terus-terus gimana?!"

"Kepo kamu." Jawaban itu seketika membuat keantusiasan ku turun drastis. Setelahnya Mbak Hindun tergelak.

"Malam sebelum Mbak berangkat, Mbak ngasih tahu dulu dia kalau Mbak bakal keluar kota selama tiga Minggu." Tutur Mbak Hindun dengan aku yang kembali duduk. "Terus dia bilang dia mau nganterin sekalian ketemuan katanya. Udah gitu doang, lagian Mbak berangkat pagi banget sampai lupa mau kasih kabar sama kamu."

TAKDIR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang