BAB 7 Perombakan Rencana

15 2 0
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Ayo sholawat dulu!🥰

اللهمْ صَلَّ عَلَى سَيّدِنَا مُحَمَّدِ ، وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا
مُحَمَّدِ
[Allahuma sholi ala Muhammad, wa ala ali Muhammad.]

Alhamdulilah, happy reading!

🕊️

Aku yang memimpin langkah kedua temanku seketika terhenti dan membuat keduanya terhenti juga.

“Kenapa, sih?” Dengus Dilla.

Aku menyimpan telunjukku dibibir menandakan untuk tidak bersuara. “Denger nggak?”

Keduanya sama-sama diam. Memasang ketajaman pendengaran.

“Oi! Pada ngapain?” Suara itu mengejutkan kami di tengah keheningan.

“Kak Adnan?”

“Lo bertiga ngapain diem disini? Yang lain udah nunggu di gazebo, tuh.” Ucap Kak Adnan sedikit merapikan rambutnya.

“Yang lain siapa?”

Kak Adnan tidak menjawab pertanyaan Lucy. Ia segera melangkahkan kakinya menuju gazebo diikuti kami dibelakangnya.

“Bro!” Seru Kak Adnan yang membuat suara berisik itu terdiam. Kulihat teman-teman Bang Dzul ada disana. Pantas saja suara berisik tadi terdengar.

Mendengar sahutan dari Kak Adnan, Kak Jaki yang duduk berlawanan arah itu sedikit menggeser duduknya dan mempersilakan kami ikut duduk.

“Kalian masih disini?” Tanya Lucy setelah kami duduk dengan nyaman.

“Iya, ada yang mau dibicarain sama Bintang.” Jawab Bang Dzul dibalas anggukan oleh Kak Bintang.

“Kenapa gak di grup aja?” Dilla menyela.

“Takut kurang efektif,” kini Kak Bintang menjawab. “Kalau terlalu malam takut banyak yang gak periksa handphonenya.”

“Itumah elo!” Sahut Kak Hisyam dengan cepat membuat Kak Bintang sedikit mengekeh.

“Sama, sih,” ucapku dengan bangga. “Aku juga jarang buka hp kalau malem.”

“Iya, sibuk drakoran. Jadinya chat atau telepon gak diangkat saking asiknya nonton.” Dilla dengan sewot menjawab mengundang gelak tawa dari mereka.

“Lo mau ngomongin apa?” Tanya Dilla yang pasti ditujukan pada Kak Bintang.

Kak Bintang sedikit membenarkan posisi duduknya. “Ada sedikit perubahan dari rencana yang kita buat kemarin.” Tutur Kak Bintang membuat semuanya terdiam.

Kak Bintang membuka laptop disampingnya. “Di rencana sebelumnya saya ngide buat perlombaan dilaksanakan hari Kamis. Tapi melihat situasi dan kondisi kayaknya hari Jum’at juga bisa lakuin semuanya sekalian penutupan.”

“Terus hari Kamis nya ngapain?” Tanyaku melihat bagan yang Kak Bintang perlihatkan.

“Buat besok saya sama temen-temen yang lain mau bahas materi yang udah dikasih selama tiga hari ini buat persiapan hari Jum’at. Dilanjut main games. Diakhir kita minta anak-anak buat nulis kesan pesan di kertas selembar buat kita.”

“Terus untuk hari Jum’at nya, sesuai jadwal kita mulai dari jam 1. Habis Jum’atan saya sama yang lainnya siap stand by dirumahnya Dzul. Jam 1 sampai jam 2 pemilihan kelompok sama ketuanya. Terus udah selesai itu kita pakai buat lomba mewarnai, paling telat 5 menit sebelum Ashar anak-anak beres.” Lanjut Kak Bintang menjelaskan.

“Sistem mewarnainya kelompok berarti?” Tanya Lucy disetujui oleh Kak Bintang.

“Iya, Habis itu kita solat Ashar berjamaah dulu baru lanjut mulai lomba cerdas cermat. Saya yakin 2 jam juga bakalan selesai soalnya soal-soal yang dibikin gak jauh dari materi yang dibahas. Jam 5 kita siap-siap tadarus sekalian bagiin takjil ke anak-anak.”

Kulihat hanya aku , Dilla, dan Lucy saja yang mengangguk. Respon teman-temannya Bang Dzul terlihat biasa-biasa saja. Tidak ada pertanyaan atau argumen yang mereka debatkan. Mungkin mereka sudah mengetahui perombakan ini.

“Gimana? Setuju atau mau ambil rencana sebelumnya?” Tanya Kak Bintang.

“Gue, sih, setuju.” Ucap Dilla disusul dengan Lucy.

“Gue juga,” Katanya. “Dengan adanya pesan kesan yang anak-anak buat, itu bisa lebih kerasa kenangannya.”

Kini aku menganggukkan kepala. Setuju dengan pendapat Lucy. “Oke, aku juga setuju."

Alhamdulilah,” gumam Kak Bintang yang masih bisa kudengar. “Berati laporannya saya ubah lagi sama rencana ini, ya.”

“Untuk kado gimana?” Tanya Kak Hisyam menatap kami bertiga.

“Belum ada yang dibeli, sih. Kayaknya besok pagi aku ke toko.” Jawabku diangguki oleh Kak Hisyam.

“Perlu berapa? Satu juta cukup gak?” Kak Adnan menyahut membuat kami seketika terdiam.

Aku tertawa samar. “Buat buku doang satu juta kebanyakan.”

“Ya, sekalian buat sanck box juga. Biar gue ngirim uangnya gak tanggung.”

“Nanti aku diskusiin lagi, deh, sama Ibu. Belum bikin hitungannya. Emang mau berapa box?”

“50 box juga cukup. Itu juga udah termasuk sama kita dan Bapak. Kalau misal ada sisa, kita bagiin aja ke warga.” Bang Dzul menjawab.

“Kalau buat Bapak, rada bagusan dikit lah. Jangan disamain banget sama kita-kita. “ Kak Jaki ikut menimpali.

Aku mengangguk, “bener, misal kita lebihin porsinya dibanding sama kita.”

Lagi-lagi aku melihat respon mereka mengangguk kepalanya.

“Kalau butuh jasa tenaga angkat barang kabarin kita aja. Jaki siap banget katanya.” Kak Hisyam menyahut dihadiahi pukulan ringan di lengan oleh Kak Jaki.

“Kok jadi gue?!”

“Kan lo paling kuat badannya diantara kita.” Elak Kak Hisyam tak merasa bersalah.

“Yakali gue sendirian? Gila aja lo!”

“Iya, Dek. Aa bantu nanti.” Ucap Kak Hisyam membuat kami tertawa dengan sikap konyolnya. Sedangkan Kak Jaki hanya bisa mencibir tanpa suara.

Bertepatan dengan itu, suara Adzan Isya terdengar. Membuat kami segera mengakhiri pembicaraan ini. Aku, Dilla, dan Lucy lantas segera pamit pada Bang Dzul dan teman-temannya. Tak lupa juga kami pamit pada Bapak dan Ibu yang kini sudah masuk rumah.

Tak disangka, kepulangan kami dihadiahi satu kantong makanan yang sudah Ibu Bang Dzul buat. Karena memang, bulan puasa itu bulan kita berlomba untuk mencari pahala. Semua kebaikan yang kita lakukan, pasti dilipat gandakan lagi kebaikannya.

to be continued

TAKDIR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang