BAB 39 Saling Menyatakan Kebenaran

6 1 0
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Ayo sholawat dulu!🥰

اللهمْ صَلَّ عَلَى سَيّدِنَا مُحَمَّدِ ، وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا
مُحَمَّدِ
[Allahuma sholi ala Muhammad, wa ala ali Muhammad.]

Alhamdulilah, happy reading!

🕊️

Tanpa menunggu waktu lama, aku pun lantas segera masuk menuju mobil Kak Bintang dan mulai mengoperasikannya. Sungguh, bau wangi khas dari Kak Bintang ternyata kalah menyengat dari pada pewangi kendaraan yang menggantung diatas sana.

Sesekali aku merasa gelisah menatap punggung Kak Bintang yang tengah mendorong kendaraan milikku. Mungkin bagi sebagian orang jarak 4km bukanlah apa-apa. Namun bagiku itu cukup melelahkan jika ditempuh dengan berjalan, terlebih jika harus membawa beban.

Benar saja, hampir 20 menit aku mengikuti langkah―meskipun menggunakan mobil―Kak Bintang, kami benar-benar sampai ditempat reparasi kendaraan yang tidak terlalu besar. Aku memarkirkan mobil terlebih dulu bersamaan dengan kak Bintang yang berbicara pada salah satu montir disana.

"Ini, Kak." Ucapku menyodorkan botol minumnya yang tersimpan di kursi mobil. Aku inisiatif mengambil sebab kalau beli lagi memakan waktu.

"Terimakasih," balasnya kemudian membuka botol itu dan merendahkan tubuhnya; jongkok untuk meminum air.

"Nunggu sekitar satu jam, antri soalnya." Ucap Kak Bintang setelah kembali berdiri. "Atau mau pulang? Biar saya antar."

Aku menggeleng, "gak usah, deh. Tunggu sampai selesai aja."

Bersamaan dengan kalimat terakhir yang aku ucapkan, gelegar petir mulai terdengar disusul oleh air hujan yang turun deras tanpa permisi.

"Nah, 'kan, kalau nunggu Adik kamu, yang ada kamu basah kuyup. Ayo!" Ajaknya kemudian setelah kami saling tergelak.

"Makasih, ya, Kak." Ucapku saat duduk di kursi kayu tempat orang-orang menunggu dan diangguki olehnya sembari tersenyum.

Sejenak kami berdua terdiam. Berkali-kali aku terus menggosokkan kedua telapak tanganku agar terus terasa hangat sebab hujan deras ini ternyata cukup menghantarkan hawa dingin meskipun aku sudah memakai baju hangat. Namun di didetik berikutnya kami berdua terkekeh sebab kami memanggil nama secara bersamaan dalam waktu yang sama.

"Kakak dulu." Ucapku mempersilakan Kak Bintang untuk berbicara. Namun sang empu menggeleng, ia balik mempersilakan aku yang berbicara terlebih dahulu.

Lima detik terselimuti sunyi diantara kami berdua. Baru saja aku akan berbicara untuk mencairkan suasana, namun suara di perutku ternyata lebih mendahului.

Kami berdua saling menatap dengan aku yang memberikan cengiran pada Kak Bintang.

"Belum makan?" Tanya nya dihadiahi gelengan dengan cengiran.

Kak Bintang beranjak dari tempat duduknya. "Sebentar," katanya sebelum aku bertanya akan kemana ia pergi. Namun tak lama, ia kembali lagi. "Di depan sana ada mie ayam. Kamu mau? Kalau pesen online dari sini jaraknya cukup jauh, pasti lama."

Ah, ternyata ia keluar itu untuk mencari penjual makanan.

Aku mengangguk dengan antusias kemudian ikut berdiri untuk menyusul langkah Kak Bintang. "Kamu mau kemana?" Tanyanya saat menyadari bahwa aku mengikutinya.

"Ya, beli mie ayam."

"Gakpapa biar saya aja. Diluar masih hujan, biar nanti minta abang-abang nya buat nganterin."

TAKDIR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang