Untaian 07

979 58 3
                                    

~Tidur Panjang yang Menyebalkan~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~Tidur Panjang yang Menyebalkan~

~Tidur Panjang yang Menyebalkan~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


[Adam Ardhito Praharja]

Di dalam hidup ada momen dimana kita takut melihat orang yang kita sayangi kesakitan. Sedangkan kita hanya bisa melihat tanpa bisa membantu apapun. Gue merasa tak berguna saat melihat Alam yang kepayahan di malam itu. Bayangan di malam itu pasti teringat jelas di kepala gue. Apa yang terjadi memang tak bisa diprediksi, semuanya berjalan mengikuti alur kehidupan yang sudah diatur sedemikian rupa. Meski gue tahu fakta itu, tapi tetap saja gue tidak pernah siap akan kehilangan orang-orang terdekat gue.

Masih mengenakan seragam sekolah gue mencuci tangan dan mensterilkan tubuh gue sebelum masuk ke ruang intensif vip. Gue pun mengenakan baju steril yang lengkap sebelum masuk. Sepulang sekolah gue langsung ke rumah sakit, untuk menggantikan mbak Sri menjaga Alam. Sejak kolapsnya Alam kondisinya masih sama tidak ada perubahan, seminggu lebih berlalu Alam masih belum membuka matanya.

Tubuhnya terlihat semakin kurus, dengan dijejali selang pernapasan yang dimasukkan ke dalam mulutnya. Kabel-kabel yang tertempel di tubuhnya. Kateter infus untuk menyalurkan berbagai nutrisi yang terpasang di sekitar lehernya, dan bekas sayatan panjang di dadanya yang tercetak dengan jelas. Gue terdiam cukup lama melihat seperti apa kondisi Alam.

Gue meraih tangannya yang bebas infus dengan hati-hati dan menggenggam tangan itu. "Bang, gue nggak tahu kalau hidup lo juga kayak gini. Padahal gue selalu berdoa biar Tuhan nggak ngasih lo sakit, gue minta Tuhan jagain lo. Tapi ternyata Tuhan belum menepati itu. Pasti sakit banget kan?" Gue hanya mendengar suara monitor yang berbunyi konstan. Tak ada jawaban dari Alam, tak ada reaksi darinya. Helaan napas mengiringi gue.

"Please bangun, seenggaknya kalau lo nggak mau lihat gue, lihat papa aja yang sayang banget sama lo. Gue tahu lo bisa melaluinya, lo udah ditimpa kerasnya hidup dan gue yakin lo bisa bertahan, Bang." Tangan gue bergerak mengusap rambutnya yang lepek, lalu tersadar kalau air mata Alam mengalir dalam pejamnya.

"Gue yakin lo bisa denger ini, gue sayang sama lo. Jadi bangun ya, Bang!" Gue menaruh kembali tangan Alam dengan hati-hati. Mata gue menerawang mengingat masa kecil kami yang penuh dengan tawa, senyum gue pun ikut merekah. Andai masa itu tak pernah hancur, andai kita tetap bersama. Perandaian itu selalu muncul selama ini, sejak kami berpisah dan menjadi saling asing sekarang. Namun, bukankan semua ada saatnya? Gue percaya kalau apa yang terjadi di masa lalu, tawa yang penuh warna itu akan kembali. Meski tak sama tapi gue pengen menggenggam tangannya, saling menguatkan saat semuanya terasa sulit. Gue pengen ada di belakangnya dan mengulurkan tangan saat dia butuh bantuan untuk berdiri.

Shriveled | NOMIN✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang