1. Hidayah

693 116 234
                                    

Apa yang diharapkan dari cerita ini? Jangan berekspektasi tinggi. Aku cuma berusaha menumpahkan apa yang ada dipikiran saja✌🏿

Sebelum baca baiknya vote dulu, nanti kelupaan, daaaan JANGAN LUPA KOMENTARNYA 😊

Oh iya, bagi yang baru baca ceritaku. Yang harus kalian tau:
1. Aku tuh kalau update luammaaaa buanget perlu di semangatin dulu atau kalau moodnya lagi bagus bisa update berkali-kali.
2. Aku suka update cerita baru, karena bingung aja pembaca sekarang sukanya yang kaya gimana😭
3. Aku suka balesin komentar pembaca, nungguin malah. Tapi, pembacanya ga mau komen💔

Happy Reading!
****

Setapak demi setapak gunung di daki hingga ke puncak. Tetesan air hujan tak mematahkan api yang membara di dada.

Langit mendung, awan kelabu, hujan semakin deras. Sinar mulai redup hingga gelap menyelimuti bumi.

Hehh... Hehhh

Helaan nafas bergemuruh, menyesakkan dada dengan peluh yang sudah bercampur air hujan. Pria setengah baya, melihat sekeliling yang gelap gulita. Tiada cahaya, hingga tidak terlihat apa-apa.

Sesuatu terasa seperti belaian di kaki jenjangnya. Tubuhnya menegang, ia memberanikan diri untuk melihat apa yang berada di kakinya.

Aaaaaa.....

"Senandung!" pekik suara wanita paruh baya yang terkesiap mendengar teriakan putri sulungnya.

Sebut saja Buna, ibu rumah tangga yang memiliki dua anak perempuan yang memiliki sifat berbeda. Senandung Cahya Angin, putri sulung yang mempunyai paras cantik namun tak secantik adiknya. Hobinya bersantai, rebahan, menaikkan darah ibunya dan membuat keadaan rumah kacau balau.

Sementara putri bungsu Buna bernama Swara Gita Candrakanti. Ia adalah kembang desa yang bertutur kata lembut dengan sikapnya yang santun, dan gerak-geriknya yang anggun. Hobinya mengaji, dan menyampaikan kebaikan kepada anak-anak kecil di lingkungannya.

Aaaaa....

Pekik Senandung lagi, Buna yang sedang merajut berdiri menghampiri Senandung di dalam kamarnya.

"Kamu nggak bisa di bilangin ya? Kuping Buna meledak rasanya mendengar teriakan kamu itu," Headset di telinga Senandung dicabut paksa oleh Buna.

"Buna, Senandung ga sengaja. Itu tadi filmnya menakutkan," ucap Senandung selalu dengan perkataan yang hampir serupa.

"Buna sudah berapa kali bilangin kamu, suaranya di kecilkan. Kalau Buna jantungan gimana?" kesal Buna.

Senandung tersenyum dengan rasa bersalahnya. "Kelepasan Buna, maafin ya," Senandung langsung memeluk Buna. Sikapnya selalu seperti itu jika ditegur oleh Buna.

"Coba sekali-kali kamu ikut Swara ke pendopo, temani dia di sana. Sambil menunggu panggilan kerja, ga ada salahnya nambah pahala," titah Buna.

Senandung hampir setiap hari mendengar perkataan yang sama dari Buna. Ia selalu dibandingkan dengan Swara, adiknya yang serba sempurna.

"Iya-iya, aku temani Swara nanti kalau hidayah sudah datang. Buna harus bersyukur ada temannya di rumah, aku ga mau jauh dari Buna," ucap Senandung yang membuat Buna geleng-geleng kepala.

"Buna ga habis pikir sama kamu, entah lelaki mana yang bakal tertarik sama anak gadis yang sukanya naikin darah orang tua," Buna keluar dengan perasaan menggebu-gebu, ia tak tahu menyikapi sikap anak sulungnya itu.

"Assalamu'alaikum," salam dari suaminya membuat Buna berdiri untuk menyambut kedatangan pujaan hatinya.

Sebut saja Abi, begitulah panggilan akrabnya. Seseorang yang disegani Senandung dan Swara ini bekerja sebagai pemilik yayasan Taman Pendidikan Qur'an yang di bantu oleh salah satu putrinya, Swara.

"Wa'alaikumsalam, Abi mau makan atau langsung mandi dulu?" tanya Buna yang sudah menyalami suaminya.

"Kayanya makan dulu Bun, Abi sudah kelaparan, banyak ibu-ibu yang memasukkan anaknya ke TPQ kita," ucap Abi menceritakan sedikit kejadian hari ini sembari menuju meja makan.

"Alhamdulillah, itu berarti orang-orang percaya menitipkan anak-anaknya sama Abi dan yang lainnya," Buna tersenyum sembari menghidangkan makanan.

"Iya Bun. Senandung hari ini ga buat ulah lagi kan?" tanya Abi sedikit khawatir. Pasalnya, ia selalu menerima pengaduan serupa setiap harinya.

"Senandung ya seperti itu, Buna juga sudah pasrah sama sikapnya. Berbeda sama Swara yang tidak perlu kita khawatirkan lagi," ucap Buna.

Perkataan Buna menyayat hati Senandung. Ia yang hendak ke dapur tidak sengaja mendengar perbincangan orang tuanya.

Tes...

Setetes air mata lolos di wajah Senandung. Hatinya teriris kala dibandingkan dengan adiknya yang memang terlihat sempurna.

Senandung menghapus jejak air matanya. Ia menetralkan perasaan dan menuju meja makan. Bersikap seperti biasa saja, Senandung selalu menegarkan hatinya.

"Makan apa nih Bun, dari tadi Senandung ga disuguhkan seperti Abi," ucapnya yang telah duduk di kursi.

"Kamu sudah kenyang dengan ponselmu itu. Lagi pula anak perempuan itu kalau mau makan ya masak dulu. Tidak ada beras yang tiba-tiba berubah jadi nasi, ikan  di laut juga harus dipancing dulu, sayuran harus di petik juga, kamu aja yang malas-malasan, maunya yang instan," omel Buna memenuhi telinga Senandung. Ia tidak pernah jemu untuk memberikan nasihat untuk anaknya yang hanya didengar telinga kanan lalu di keluarkan di telinga kiri.

"Abi, Senandung emang separah itu ya? Lagi pula, aku kan gantikan Abi jagain Buna di rumah," ucapnya mengadu pada Abi.

"Kalau orang tua kasi tahu dengerin, kamu belajar dari Buna gimana caranya jadi perempuan yang benar-benar perempuan. Kalau belajar dari Swara kamu pasti ga mau. Selagi belum ada kerja, manfaatkan waktu untuk belajar sama Buna, gimana caranya mengurus rumah." Bukannya membela, Abi malah menambahkan nasihat untuk Senandung.

"Di usia kamu sekarang bukan lagi waktunya main-main Sena. Besok lusa ada laki-laki yang berniat baik, kamu akan menjadi istri orang. Kalau seperti ini, Abi khawatir untuk melepas kamu," tutur Abi.

Tak terasa, Senandung mendengarkan ucapan Abinya sampai ke hati. Air mata mengalir tanpa sadar. Dengan cepat, Senandung menghapusnya.

"Kok jadi sedih ya, Abi bicaranya suka bikin Sena nangis. Aku masih putri kecil Abi yang haus akan kasih sayang," ucap Senandung membentuk sedikit senyuman.

"Putri kecil apanya? Itu pola pikir kamu di ubah Sena, kamu sudah besar. Sudah bisa cari uang sendiri, bukan malah ngabisin waktu ga jelas," Buna kembali berbunyi. Kali ini hati Senandung benar-benar sakit.

"Bun, sabar. Jangan terlalu emosi, bilangin pelan-pelan. Senandung emang butuh di nasihati sedikit-sedikit," ucap Abi yang tidak enak mendengar ucapan Buna kali ini.

"Butuh kesabaran seperti apa lagi Bi? Buna yang seharian di rumah ngadepin Senandung, bukan Abi. Dia makin dibiarin malah makin menjadi-jadi. Darah Buna sudah mendidih sampai kepuncak kepala mengurusnya," ucap Buna.

Abi merasa iba pada Senandung yang kini terdiam. Sementara itu, ia juga paham betul perasaan Buna.

"Besok Senandung ikut Abi ke TPQ," lirih Senandung dengan suara bergetar.

"Bagus itu! Ikut Abimu, temani Swara mengurus anak-anak di TPQ. Kamu juga nanti di gaji sama Abi. Walaupun tidak besar, yang penting kerja. Belajar mengenal dunia luar. Dari dulu juga di suruh ikut Abi ke TPQ ada saja alasannya. Baru dapat hidayah kamu sekarang?" Perasaan Buna sedikit tenang. Ia sempat terkejut mendengar Senandung yang tiba-tiba berkata demikian. Ia seperti itu juga untuk kebaikan putri sulungnya.

"Maaf Bun," lirih Senandung.

"Sudah ya, dimakan nasinya. Abi jadi kenyang kalau kaya gini," Abi memakan kembali nasi yang sempat diabaikan.

Menghadapi anak emang penuh kesabaran yang luar biasa. ~Buna

****

Komentarnya dong gaes....
Lanjut ga?

Senandung √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang