31. Ada Janin?

101 11 4
                                    

Haii!

Emang boleh update semalam ini? 😅 komen dong kalian bacanya jam berapa? Sekarang pukul 22.54 wib🤭

JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK DENGAN MEMBERIKAN VOTE DAN KOMENTAR TERBAIK KALIAN!

Happy Reading!!!
****

Pukul 4 dini hari...

Senandung yang sedang terlelap tiba-tiba terbangun. Perutnya bergemuruh, rasa mual bergejolak dengan hebat. Pusing di kepalanya juga tidak kunjung hilang. Dia mendudukkan diri sembari mengelus kepalanya.

Niat hati ingin membangunkan sang suami, tapi di sana hanya tinggal dia seorang diri. Kemana Kak Harsa?

Senandung beranjak, ia tidak lagi bisa menahan rasa mual di tenggorokannya, seperti ada yang ingin keluar. Wanita itu segera menuju wastafel. Namun, tidak ada apapun yang keluar, hanya angin saja.

Rasa kantuknya sudah hilang. Senandung memutuskan untuk ke dapur. Ia mengambil segelas air minum, kemudian membersihkan sisa acara tadi malam.

Apakah pusingnya sudah hilang? Tentu saja belum, dia berusa menahannya. Selain itu, ia juga memikirkan Harsa yang hilang begitu saja. "Mungkin sedang ada urusan di luar," Senandung berusaha berpikir positif.

Hingga usai sholat subuh, Senandung bolak-balik ke toilet hanya untuk memuntahkan angin. Tubuhnya terbujur lemah di atas ranjang. "Kak Harsa, kamu dimana?" monolognya.

Senandung meraih ponsel, ia berusaha menghubungi Harsa. Namun, nomor Harsa tidak aktif. Senandung kecewa? Tentu saja. Di saat seperti ini dia hanya membutuhkan Harsa, suaminya.

"Assalamu'alaikum, Mbak," Swara mengetuk pintu kamar Senandung. Dengan langkah gontai, wanita itu membuka pintu untuk adiknya.

"Mbak kok pucat-"

Belum usai Swara berbicara, tubuh Senandung ambruk. Wanita itu pingsan dengan wajah pucat pasi. Akhirnya, dia hanya bisa menahan rasa sakit itu dalam beberapa jam saja.

Swara dan Darma sedang berada di depan ruangan yang bertuliskan, "Bagi yang tidak berkepentingan dilarang masuk!" Setelah melihat Senandung yang tidak sadarkan diri, Swara dan Darma langsung membawanya ke rumah sakit terdekat.

Keduanya terlihat khawatir, apalagi Swara. Wanita itu tidak pernah melihat Senandung seperti ini. Ini pertama kalinya.

Tidak lama, Abi dan Buna datang dengan raut wajah khawatir. "Apa yang terjadi dengan Mbakmu Ra?" tanya Buna. Wanita paruh baya itu sangat mengkhawatirkan putri sulungnya.

Swara menggeleng, "tadi aku mau pamit pulang tapi Mbak Sena langsung pingsan. Aku dan Mas Darma langsung membawanya ke sini," jelasnya. Swara dengan air mata yang berlinang, menanti kabar dari kondisi Senandung.

"Harsa mana?" Abi membuka suaranya. Pria paruh baya itu menyadari bahwa menantunya itu tidak terlihat.

Swara lagi-lagi menggeleng, "Mas Harsa tidak ada di rumah, Bi," jelasnya.

Belum lama jadi menantu, Harsa sudah membuat Abi kecewa. Pria paruh baya itu hanya bisa berdecak kesal. Apa yang diharapkan dari menantunya yang dulu memang sudah memberikan luka pada anaknya itu?

Dokter keluar dari ruangan, sembari tersenyum. Tersenyum? Mengapa dokter memasang raut wajah seperti itu?

Buna maju tergesa-gesa, ia ingin tahu bagaimana kondisi anaknya. "Apa yang terjadi dengan anak saya, Dok?" tanya Buna. Buna memang bukan orang yang memperlakukan Senandung dengan romantis, tapi dia orang yang akan maju paling depan jika ada hal yang terjadi dengan anak sulungnya itu.

"Sabar dulu, Bu. Suaminya mana ya?" tanya Dokter yang memiliki nama Widi Anastasya, terlihat dari tanda pengenal di pojok kiri atas pakaiannya.

"Tidak ada, Dok. Bisa katakan sama saya saja, saya Abinya," ucap Abi yang juga sudah tidak sabaran.

Dokter Widi mengangguk, "bisa ikut ke ruangan saya sebentar?" pintanya. Dengan senang hati, Abi dan Buna membuntuti dokter Widi.

Tiba di ruangan, dokter Widi mempersilakan Abi dan Buna untuk duduk terlebih dahulu.

"Baik, sebelumnya saya ingin mengucapkan selamat. Ibu Senandung sedang mengandung. Jadi mohon untuk terus di jaga dan jangan sampai kelelahan, nanti hal yang terjadi hari ini bisa terulang lagi atau mungkin lebih parah karena kandungannya yang lemah," ujar dokter Widi dengan hati-hati.

"Maksud Dokter hamil? Mereka menikah belum sampai satu bulan, Dok," Buna tidak percaya. Namun, dirinya juga tidak mau menuduh yang bukan-bukan.

Dokter Widi masih tersenyum, "alhamdulillah, Bu. Ibu Senandung dan suaminya adalah salah satu pasangan yang sehat. Kemudian, umur Ibu Senandung juga masih terbilang muda, dan kemungkinan besar hubungan intim antara keduanya dilakukan pada saat masa subur. Makanya proses terbentuknya janin lebih cepat. Saya belum bisa menentukan umur janin di kandungan Ibu Senandung, karena beliau masih belum sadarkan diri. Kita akan menghitungnya dari menstruasi terakhir Ibu Senandung," jelasnya panjang lebar.

Buna keluar dari ruangan dengan raut wajah bahagia, dan masih tidak percaya bahwa sebentar lagi dirinya akan menjadi seorang nenek. Sementara Abi, pria paruh baya itu menampilkan raut wajah yang tidak bisa dibaca. Ia khawatir, apakah Senandung dan Harsa bisa menjaga amanah ini dengan baik atau tidak. Untuk saat ini saja, Harsa masih lalai dalam menjaga istrinya.

Swara dan Darma sedikit kaget namun akhirnya tersenyum. Keduanya juga turut bahagia, proses terbentuknya janin di dalam diri Senandung sedikit lebih cepat dari mereka.

"Kita sabar dulu ya Mas, ini rezekinya Mbak Sena," ucap Swara mengelus pelan lengan Darma.

Darma mengangguk, "belum juga sebulan Ra, kita habiskan waktu berdua dulu ya," ujarnya.

30 menit berlangsung, Senandung akhirnya menyadarkan diri. Bola matanya menangkap dinding-dinding  putih dengan bau obat-obatan yang memenuhi penciumannya. "Buna," lirihnya saat matanya bertemu dengan mata Buna.

Buna beranjak, ia segera mendekati Senandung. "Makanya kalau kerja itu yang sedang-sedang saja. Kalau sudah seperti ini siapa yang repot?" Bukan marah, tapi begitulah cara Buna menyampaikan rasa khawatirnya.

"Maaf," lirih Senandung. Wanita itu masih bisa tersenyum.

"Kak Harsa mana?" pertanyaan itu lolos begitu saja. Senandung mencari sosok suami yang belum kelihatan batang hidungnya.

"Itu juga yang mau Buna tanyakan. Dari Buna datang kesini, suami tercinta kamu itu sama sekali tidak kelihatan," ucap Buna.

Senandung terkekeh pelan mendengar ucapan Buna. "Mungkin lagi kerja Bun," ucap Senandung yang masih berpikir positif.

"Kalau kerja ponselnya kenapa harus dimatikan segala, kan susah kalau ada apa-apa seperti ini," ucap Buna.

"Mungkin habis baterai Bun, Kak Harsa ga biasa ponselnya mati. Tadi juga subuh-subuh dia sudah ga ada," jelas Senandung. Buna mengangguk, mungkin benar apa yang diucapkan Senandung.

"Abi mana?" tanya Senandung. Suaranya masih belum normal, dia hanya penasaran kenapa hanya Buna yang ada di sini bersamanya.

"Lagi keluar beli makan. Buna ga sempat masak tadi, langsung buru-buru kesini saat Swara nelpon," jelas Buna. "Kamu mau minum?" tanya Buna yang mendapat anggukan kepala oleh Senandung.

"Swara mana?" Lagi, Senandung melontarkan pertanyaan lagi.

"Kamu banyak tanyanya ya. Mending istirahat dulu, jangan banyak bicara. Buna juga capek meladeni kamu," ucap Buna. Jangan salah paham, Buna hanya ingin Senandung istirahat dulu.

Senandung menuruti ucapan Buna. Ia tidak lagi mengeluarkan sepatah katapun. Namun, pikirannya masih tertuju pada Harsa. Dimana dia?

****

Ada yang tau harsa dimana?
Btw, kita harus senang apa sedih mendapatkan berita ini?

See you~~

Senandung √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang