39. Selamat Jalan

56 10 4
                                    

Update lagi😄

AYO TEKAN TOMBOL BINTANG DIBAWAH DAN TINGGALKAN KOMENTAR TERBAIK KALIAN!

Happy Reading!!!
****

"Tak ada yang abadi di dunia fatamorgana ini. Baik makhluk hidup maupun benda mati, semua akan hilang tertelan bumi,"
~RJ

Apapun bentuk perpisahan, semuanya meninggalkan luka. Namun, tidak ada perpisahan yang diikhlaskan selain kematian.

Kematian menyebabkan rindu yang tidak bisa tercurahkan, sementara perceraian hanya akan meninggalkan kekecewaan.

Senandung pov

Saat mataku terbuka, kepalaku terasa sakit. Bau obat-obatan juga segera masuk ke rongga hidungku.

Mataku mengerjap, ruangan yang berwarna putih polos ini tidak asing lagi bagiku. Tapi, apakah tadi aku hanya mimpi?

Ingatanku kembali, sebelum akhirnya berakhir di sini, kumohon semoga hanya mimpi.

Aku segera bangun, ruangan ini kosong, tidak ada yang menjagaku. Dimana Buna?

Kakiku melangkah sedikit tergesa-gesa. Aku mohon, semoga sebelumnya hanya mimpi. Aku belum siap jika apa yang kupikirkan itu menjadi kenyataan.

Aku keluar dari ruangan. Melihat ke kiri dan ke kanan. Dimana Buna?

Kakiku melangkah hendak pergi dari ruanganku. Namun, jantungku langsung berdetak kencang. Hatiku lemas. Buna menangis.

Aku melangkah tertatih-tatih. Sekujur tubuh yang kini tak siap untuk kulihat. Pandanganku seakan kosong, apa semuanya ini nyata?

"Abi, lihat Senandung sudah sadar. Ayo Abi harus sadar juga!" Buna memekik dengan tangisannya.

"Abi, Taraka juga butuh kakeknya menggantikan peran ayahnya, aku juga masih butuh suami yang bisa membimbingku, jadi tolong bangun!" Buna menjerit sejadi-jadinya. Tubuh yang sudah tidak bisa bergerak itu membuat hatiku sakit. Mengapa harus secepat ini?

Aku melihat Swara yang berada di pelukan Mas Darma dengan menggendong Taraka, ia juga menangis tanpa suara.

"Mas, bawa Swara keluar. Aku bakal bujuk Buna agar bisa tenang. Abi ga mau melihat kita kaya gini," ucapku. Siapa lagi yang bisa diandalkan selain aku? Walau sulit untuk menerima semua ini, tapi inilah kenyataannya. Abi juga selalu bilang kalau aku kuat, mungkin dunia ini sangat berat untuk Abi. Allah lebih sayang Abi.

Mas Darma keluar menuruti permintaanku. Buna masih menangis memeluk tubuh Abi yang sudah kaku.

"Buna, sudah ya. Ikhlaskan Abi untuk pergi dengan tenang. Abi ga mau melihat kita seperti ini," Aku berbisik di telinga Buna.

"Kamu ga sedih Abi meninggalkan kita? Kalau ga ada Abi, siapa lagi yang mau ngurusin kita Sena? Buna masih butuh Abi, kamu juga, kita semua butuh Abi," ucap Buna dengan air mata yang tidak berhenti keluar.

"Iya, kita semua masih butuh Abi. Tapi, tugas Abi di dunia ini sudah selesai. Kita harus terima kenyataan. Kalau kita menangis terus, Abi ga tenang Buna. Ayo kita bawa pulang Abi, kita antar ke tempat peristirahatan terakhirnya," ucapan terakhir terdengar berat. Sulit rasanya untuk ikhlas, tapi mau bagaimana lagi Abi sudah benar-benar pergi.

Butuh waktu yang lama untuk membujuk Buna, tapi akhirnya kami pulang dengan hati yang terluka. Mencoba untuk ikhlas karena Abi hanya pulang lebih dulu dan tinggal menunggu waktu untuk kami menyusulnya.

Tiba di rumah, tetangga sudah ramai berkumpul. Ada yang sudah membuat peti, dan kami hanya tinggal menyiapkan jenazah untuk diantar ke tempat peristirahatan terakhir.

Tidak lama, kurang lebih tiga jam jenazah sudah siap dikebumikan. Taraka di tinggal di rumah dengan tetangga, sementara kami sekeluarga beserta tetangga yang lain akan pergi ke pemakaman.

Saat jenazah dimasukkan ke dalam tanah, hatiku terasa sakit. Kakiku lemas, air mataku sudah tidak terbendung lagi. Abi kini benar-benar mendahului kami. Tidak ada lagi yang bisa kujadikan sandaran. Tidak ada lagi yang menjadi tameng untukku.

Semua proses berjalan lancar. Kami sudah kembali ke rumah, walau tadi masih susah membujuk Buna yang tidak mau pulang. Tapi, akhirnya kami pulang.

Taraka kini sudah di dalam pelukanku. Seharian ini Taraka tidak ada mendapatkan asi, tapi bayi mungil ini sama sekali tidak menangis. Taraka akan menjadi kuat seperti Abi.

Para tetangga kini sudah meninggalkan rumah kami. Buna setelah pulang dari pemakaman langsung masuk ke kamarnya dan tidak keluar. Sementara Swara, dia masih bersedih dan Mas Darma masih menenangkannya.

Entah apa dosa yang aku lakukan sebelum ini, setelah bercerai dengan Kak Harsa, kini Allah mengambil Abi. Semoga ujian ini cukup sampai disini. Ya Allah aku benar-benar tidak kuat.

Tahlilan di malam pertama kepergian Abi berlangsung khidmat. Buna juga keluar menemui tetangga yang menghadiri tahlilan dengan wajah datar nan sendu. Buna sangat terpukul.

Malam ini, aku berniat tidur dengan Buna. Dengan membawa perlengkapan Taraka, tanganku penuh dan berusaha mengetuk pintu kamar Buna.

"Kamu mau pindah atau apa? Bawa barang-barang sebanyak ini," ucap Buna namun tangannya langsung mengambil alih Taraka.

"Karena kita sama-sama janda, kita harus tidur berdua Buna," ucapku berusaha memancing amarah Buna seperti biasa.

"Jaga perkataan kamu Senandung, Abi kamu masih di sini, dia pasti dengar ucapan kamu yang sangat tidak ingin di dengar," Buna meletakkan Taraka di atas kasur.

"Bercanda Buna, kita harus hidup seperti biasa karena Abi selalu bersama kita. Abi sedang mengawasi kita dari atas sana, jadi Buna jangan cari Abi baru," ucapku sambil terkekeh.

"Mending kamu balik ke kamarmu Sena, tinggalkan Taraka di sini daripada menyakiti hati Buna," ucap Buna.

Buna menepuk-nepuk tubuh Taraka, dengan kepala tertunduk seperti ada yang jatuh dari sana.

"Buna nangis lagi?" tanyaku. Kali ini aku juga tidak bisa menahan air mata yang ingin keluar.

"Buna hanya rindu sama Abi kamu, kemarin malam dia masih menggendong Taraka," ucap Buna.

Perkataan itu semakin membuat hatiku sakit. Benar saja, kemarin malam Abi masih baik-baik saja.

"Buna tahu sudah takdirnya Abi kamu untuk mendahului kita, tapi kenapa harus seperti ini kejadiannya. Kenapa harus terjadi kecelakaan seperti itu?" Buna mengusap air matanya yang keluar.

"Andai saja Taraka tidak demam, andai saja Sena yang ke pengadilan, pasti Abi sedang bersama kita sekarang," ucapku. Kini, aku hanya bisa berandai-andai. Apa kepergian ini termasuk salahku? Apa aku yang seharusnya di posisi Abi?

"Sudah, ucapan kamu semakin ngelantur. Buna hanya berpikir seperti apa kematian Buna kelak, apakah akan seperti Abimu atau bagaimana. Semuanya tidak pernah kita duga," ucap Buna. Ada benarnya juga, kematian ini seperti teka-teki. Kita menginginkan kematian yang di ridhoi Allah tapi belum tau caranya seperti apa.

"Untuk saat ini, kita harus fokus sama Taraka. Itu ucapan Abi kamu sebelum dia pergi. Taraka butuh kita semua, walau berat, kita harus mencobanya," ucap Buna dengan air mata yang kembali mengalir.

Kepergian Abi benar-benar meninggalkan luka. Namun, luka itu harus sembuh walau bagaimanapun caranya. Abi masih di sini, di hati kami semua. Terimakasih Abi sudah menjadi yang terbaik di hidup kami. Sampai bertemu di syurgaNya Allah, kami sayang Abi.

****
S

ee you~~

Senandung √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang