32. Harsa Menghilang

77 11 2
                                    

Haii!

Sebelum baca siapin tisu dulu, karna part ini aku nulisnya pake emosi dikit😠

JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK DENGAN VOTE DAN KOMENTAR TERBAIK KALIAN!!!

Happy Reading!!!
****

"Kandungan Ibu Senandung lagi lemah, jadi harus dirawat inap beberapa hari sampai kondisinya membaik. Kepada walinya, mohon untuk mengurus administrasi terlebih dahulu,"

Kabar kehamilan Senandung sudah sampai ke telinganya. Saat pertama kali mendengar dirinya hamil, raut wajahnya bahagia. Ia sudah tidak sabar ingin menyampaikan berita ini pada Harsa.

Namun, ini sudah memasuki hari ketiga Senandung dirawat di rumah sakit. Selama itu pula Harsa tidak ada menampakkan dirinya, bahkan memberi kabar pun tidak. Harsa benar-benar hilang, bak lenyap ditelan bumi.

Sejak kemarin malam, nafsu makan Senandung menurun. Ia terus memuntahkan angin. Buna terus memaksanya untuk makan tapi tidak dihiraukan.

"Kamu mau pulang tidak, Sena?" Buna meletakkan semangkuk bubur ayam yang dibelinya dari luar. Sejak tadi sendok berisi bubur disodorkan Buna pada Senandung, namun hanya mendapat penolakan.

"Aku mau Kak Harsa," lirih Senandung dengan bulir bening yang tidak tertahankan.

"Mungkin dia diculik, atau tersesat entah kemana. Buna juga heran sama suami kamu itu, apa dia lupa kalau sudah punya istri?" Hembusan nafas kesal terdengar dari arah Buna. Wanita paruh baya itu sejak hari pertama sudah berpikiran negatif sama menantunya.

"Saya juga sudah ke kantornya. Kata pegawai yang ada di sana, Mas Harsa sudah beberapa hari ini tidak ke kantor," jelas Darma. Pria itu tentu saja mengambil tindakan untuk membantu Senandung.

"Aku mau pulang," lirih Senandung lagi.

"Makanya makan. Kalau kondisi kandungan kamu stabil, kita bisa pulang. Kalau kamu tidak mau makan gimana mau stabil?" ucap Buna.

"Aku mau makan," ucap Senandung.

Buna tersenyum. Anak sulungnya itu sedikit keras kepala, namun masih bisa di bujuk.

Senandung melahap habis buburnya, "apa aku sudah bisa pulang? Aku mau ke rumah orangtuanya Kak Harsa, pasti dia di sana," ujarnya.

Darma menggeleng, "saya sudah ke sana, Sena. Tidak ada siapapun, hanya ada pembantunya," ucapnya. Darma menatap iba Senandung di hadapannya. Tangannya mengepal, ia ingin sekali menghajar Harsa jika mereka bertemu nanti.

30 menit Senandung menangis, cukup membuat air matanya mengering. Ia sesegukan, memikirkan Harsa yang tak kunjung menemuinya.

Dokter Widi masuk untuk memeriksa perkembangan Senandung. "Saya periksa dulu ya, Ibu. Jangan banyak nangis, kasihan janinnya," ucap dokter Widi terdengar lembut namun tegas.

"Apa saya sudah bisa pulang, Dok?" tanya Senandung dengan suara serak.

Dokter Widi menarik nafas panjang, "sebenarnya hari ini sudah bisa pulang, Bu. Tapi kondisinya malah belum stabil, harus banyak istirahat," ujarnya.

"Tidak bisakah saya istirahat di rumah saja, Dok? Saya janji bakalan istirahat, ga gerak-gerak," ucap Senandung. Ia memohon dengan suara yang hampir hilang.

Dokter Widi terkekeh, "tidak begitu juga, Ibu Senandung. Nanti sore saya lihat lagi gimana baiknya. Kalau memang Ibu Senandung mau pulang, jangan nangis lagi dan habiskan makanannya," ujarnya. Dokter Widi akhirnya keluar setelah mengatakan itu.

"Bagaimana aku ga nangis, kalau Kak Harsa belum ada kabarnya?" monolog Senandung.

Senandung kembali menangis tanpa air mata, tangannya memegang erat perut datar yang kini ada sebuah nyawa di sana. Hingga terlelap, tangannya tidak terlepas dari perutnya itu.

Waktu makan siang telah tiba. Seorang perawat mengantarkan jatah makan siang Senandung. Makanan rumah sakit selalu tidak menarik, selalu kurang rasa.

"Kamu mau makan apa, Sena? Nanti nitip Darma sama Swara yang mau ke sini," tanya Buna. Selama Senandung dirawat, Bunalah yang menemaninya. Wanita paruh baya itu terkadang pulang sebentar, bahkan terkadang dia juga mandi di rumah sakit.

"Aku mau makan ini saja, Buna," Senandung meraih makanan yang tergeletak di atas nakas dengan tenaganya yang masih lemah.

"Bukannya kamu ga mau makan itu?" Buna sedikit heran melihat Senandung yang makan sesuap demi sesuap.

Senandung mengunyah pelan makanan di mulutnya. "Kata dokter Widi kalau aku habiskan makanan ini nanti sore bisa pulang," ucap Senandung.Ia bersemangat, tapi raut wajahnya masih terlihat sendu.

"Nanti Senandung bawa pulang ke rumah saja, Buna. Kalau Swara datang suruh beresin baju-baju di rumahnya," tegas Abi. Pria paruh baya itu sudah terlanjur kecewa. Kepercayaan yang diberikannya hanya sia-sia. Harsa, tidak bisa menjaga amanahnya.

"Jangan, Abi. Sena pulang ke rumah Kak Harsa aja, siapa tahu nanti dia pulang," Senandung menolak. Ia masih mengharapkan kepulangan suaminya.

"Tidak ada penolakan. Kamu pulang ke rumah Abi, titik," Abi mengucapkan kata demi kata dengan tegas. Kemudian pergi tanpa mendengar kalimat selanjutnya dari Senandung.

Senandung menatap nanar kepergian Abi. Jika sudah seperti ini, dirinya hanya bisa mengikuti apa yang dikatakan oleh Abinya.

"Apa sebaiknya Sena ga usah pulang aja, Bun? Sena disini aja, percuma pulang tapi ga ada Kak Harsa," Tatapan mata kosong menatap Buna dengan rasa kecewa.

Buna mengelus lengan Senandung, "kita pulang saja ya. Cuma Harsa yang ga ada. Abi, Buna, Swara, dan Darma selalu bersama kamu," ujarnya. Baru kali ini Buna menyampaikan perasaannya dengan benar. Ia sedih melihat anaknya seperti ini.

"Di dalam sini, ada nyawa yang ingin hidup, Sena. Kamu pikirin anak kamu, mungkin ini cobaan kamu dalam berumahtangga," Tangan Buna sudah berpindah ke perut datar Senandung. Ia mengelusnya dengan pelan. "Kamu itu kuat Sena, lebih kuat dari Buna. Kamu harus bangkit, jangan sedih terus nanti yang disini juga ikut sedih," lanjut Buna.

Senandung terharu melihat Buna yang sangat perhatian kepadanya. "Ternyata Buna bisa sweet juga ya," ucap Senandung terkekeh pelan.

Menyadari itu, Buna beranjak. Ia membereskan barang-barang yang akan di bawa pulang. "Tetap jadi kan sore ini pulang?" tanya Buna.

Senandung tersenyum, Bunanya ternyata gengsian juga. "Kata dokter Widi sih iya, Buna," ucap Senandung.

"Akhirnya, sumpek Buna di sini terus. Rindu banget sama dapur, sama tanaman, pokoknya sama rumah. Awas kamu kalau sakit lagi," Buna menekan kalimat terakhirnya.

Sementara Buna yang sibuk mengemasi barang-barang, Swara dan Darma baru tiba di ruangan Senandung. "Buna sudah berkemas, berarti Mbak Sena sudah bisa pulang ya?" ucap Swara. Terlihat raut wajah lega dan bahagia terpancar melihat itu.

"Iya, kamu mending ke rumah Mbakmu untuk mengemasi baju-bajunya. Abi menyuruh Mbakmu untuk pulang ke rumah kita," ucap Buna menyampaikan pesan Abi.

Swara mengangguk paham, tanpa basa-basi lagi ia segera pergi ke rumah Senandung setelah diberi tahu kode pintu rumahnya.

"Kamu jangan tinggalkan aku seperti itu ya, Mas. Aku tidak tahu bakalan seperti apa hidupku, karena aku tidak sekuat Mbak Sena," ucap Swara saat mereka sedang menuju rumah Senandung.

Darma tersenyum getir, "manusia hanya bisa berencana, Ra. Saya tidak bisa berjanji, tapi akan diusahakan. Saya suami kamu, dan Abi juga sudah mengamanahkan tanggung jawab itu padaku," ujarnya.

"Apakah ini keputusan yang tepat?"

****

Kesel banget sama Harsa ya! Kasian Senandung 🥺

Lanjut tidak?

See you~~

Senandung √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang