3. Swara Gita Candrakanti

224 97 146
                                    

Aku emang terdengar banyak maunya ya, tapi emang bener kalau makin banyak komentar, makin semangat updatenya. Jadi, bisa nggak kasi komentar di cerita aku lebih dari satu, pasti banyak banget typo yang ga kelihatan~~

AYO TEKAN TOMBOL BINTANGNYA DULU NANTI LUPA, hehe~~

Happy Reading!!
****

Swara pov....

Matahari bersinar, namun tak secerah kemarin. Awan sedikit gelap hingga cuaca menjadi mendung namun tak kunjung hujan.

Begitupula aku, hatiku tak semangat seperti sebelumnya. Ada yang hilang namun bukan milikku.

Hampir sebulan Mbak Sena ikut ambil bagian di TPQ, dan hampir sebulan pula ia membentang jarak antara aku dan Mas Darma.

Memang benar tebakan Mbak Sena kemarin, aku memiliki rasa untuk Mas Darma. Pria pertama yang membuat aku jatuh cinta.

Mas Darma, lebih tua dariku bahkan Mbak Sena. Umurnya hampir menginjak kepala tiga. Orangnya dingin sama lawan jenis, wajahnya adem kalau dilihat dan menenangkan. Memiliki lesung pipi yang tercetak jelas jika ia tersenyum. Sebelumnya, kami jarang berinteraksi, mungkin bisa dihitung dengan jari.

Hampir sebulan ini, aku selalu mengawasi Mbak Sena. Selain dia belum paham betul mengenai TPQ, aku juga tidak tenang melihatnya berinteraksi dengan Mas Darma.

Walau dari jauh, aku bisa melihat mereka. Sikap Mas Darma sangat berbeda saat aku yang mengampu kelas SMP dan SMA. Mereka sering berbincang, mungkin hanya tentang pelajaran.

Sesekali aku menghampiri Mbak Sena selagi mereka berbincang. Aku menyapa Mas Darma walau tidak berani menatap wajahnya. Ia menjadi diam, bahkan pamit tidak tahu kemana.

"Gimana Mbak kelasnya lancar?" tanyaku pada Mbak Sena yang sedang mengoreksi lembaran.

Mbak Sena mengangguk, "lumayanlah Ra, Mbak juga pertama kali mengajar seperti ini," ucapnya sambil tersenyum singkat.

Aku memberanikan diri untuk melontarkan pertanyaan, "Mas Darma gimana?" tanyaku.

Mbak Sena tersenyum, aku merasa sedikit tergores di hati. "Ya begitu, seperti Mas Darma yang kamu kenal," jawabnya.

Entah mengapa aku belum puas dengan jawaban Mbak Sena. Aku ingin jawaban yang lebih detail. "Maksudku, Mas Darma ga bikin Mbak merasa risih kan?" tanyaku penuh kehati-hatian.

Mbak Sena terkekeh menampar pelan bahuku. "Kamu ada-ada saja Ra. Kenapa juga sampai bikin Mbak risih? Dia humoris juga loh orangnya, Mbak makin nyaman kerja disini. Kalau ada yang ga dipahami juga bisa tanya ke dia," Mbak Sena menggeleng-gelengkan kepalanya.

Humoris? Dari mananya? Mas Darma bahkan susah mengeluarkan suaranya padaku.

"Oh iya, sepertinya Mbak sering berbincang dengan Mas Darma," ucapku dengan menahan sesak di dada.

Aku meninggalkan Mbak Sena yang masih fokus dengan lembaran kertas di mejanya. Sepertinya hubungan Mbak Sena dan Mas Darma melebihi aku.

Semakin hari, kulihat mereka semakin dekat. Tak jarang mereka bicara sambil tertawa. Hatiku merasa tergores, apa berbicara dengan Mbak Sena lebih nyaman buat Mas Darma dibanding aku?

Aku menemui mereka yang sedang asyik bicara, kuberanikan diri walau dengan langkah yang berat.

"Lagi bicara apa ni? Boleh aku gabung?" tanyaku.

Mbak Sena mengangguk, "duduk Ra. Mas Darma loh dari tadi ada aja leluconnya, Mbak jadi ga fokus nyiapin materi untuk kelas nanti sore," Mbak Sena sedikit tertawa.

Senandung √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang