33. Percobaan Bunuh Diri

87 11 4
                                    

"Ibu Senandung harus banyak makan, dan harus banyak istirahat." Buna mengingatkan kembali perkataan dokter Widi sebelum Senandung diperbolehkan untuk pulang.

"Kamu ingat itu kan, Sena?" lanjut Buna. Namun, sepatah katapun tidak terdengar di telinga wanita paruh baya itu.

Sudah satu minggu Senandung keluar dari rumah sakit, sudah satu minggu pula makanan yang masuk ke perutnya hanya sedikit. Ia terus mengurung diri dikamar, menangis dan menatap kosong ke sekelilingnya.

"Kalau kamu seperti ini, nanti dirawat lagi, mau?" Buna kembali menyodorkan sesendok nasi tepat di hadapan mulut Senandung.

Senandung mengalihkan wajahnya, ia menolak tanpa mengeluarkan suara. Tatapan kosongnya seakan mengisyaratkan bahwa dirinya tidak mau melanjutkan hidup.

Kekesalan Buna dapat terdengar dari helaan nafasnya. Buna meletakkan piring di atas nakas, "apa yang harus Buna lakukan Sena? Buna lebih mau memarahi kamu yang seharian kerjanya rebahan sambil nonton drama yang tidak jelas. Daripada kamu seperti ini, bikin Buna sangat sakit hati," ujarnya dengan buliran bening yang tidak tertahankan lagi.

Senandung hanya terdiam, ia masih belum mau mengeluarkan suara. Matanya menatap foto pernikahan yang terpampang di dinding kamarnya.

"Sena, makan ya?" pinta Buna. Namun, mata Senandung masih menatapi objek yang sama.

Buna menyadari itu, ia beranjak dan mengambil bingkai foto yang di tatapi Senandung.

Prangg!

Senandung terkejut, ia menatapi Buna dan pecahan kaca itu bergantian.

Air mata Senandung kembali menetes, "seharusnya aku tidak pernah memberikan kesempatan kepadanya," lirihnya.

"Iya, kamu tahu dia seperti apa, tapi kenapa masih mau sama dia?" ucap Buna dengan nada suara yang sudah tak tertahankan. Buna kesal, tangannya bergetar, dan hatinya juga.

"Jangan pernah terima dia lagi jika suatu saat kembali ke sini. Buna tidak ikhlas," Buna keluar tanpa mempedulikan Senandung. Ia sudah terlanjur kecewa. Ibu mana yang rela melihat kondisi anaknya seperti itu?

Senandung menatap nanar pecahan bingkai foto pernikahannya. Ia mengelus pelan perutnya. "Kita kuat kan nak? Papa kamu tega ninggalin kita. Kamu jangan pernah meninggalkan Ibu sendiri ya," lirih Senandung. Ia kembali menangis, dosa apa yang dirinya lakukan hingga takdir hidupnya seperti ini?

Setelah sholat maghrib, Senandung melangkah menuju pecahan bingkai yang belum dibersihkan. Dirinya mengambil foto diantara pecahan kaca itu. "Aku hamil, Kak. Sebentar lagi kamu bakal jadi Papa. Kamu dimana?" ucap Senandung. Ia tak sanggup melanjutkan hidup sendiri.

Senandung memberanikan diri, ia mengambil sepotong pecahan kaca dengan tangan bergetar. "Aku tidak bisa membesarkan anak ini sendiri, Kak!" ucapnya.

Pecahan kaca itu sudah menusuk pergelangan tangan Senandung. Ia kesakitan dengan tangan yang masih bergetar.

"MBAK!"

Swara berlari menghentikan aksi yang dibuat oleh Senandung. Tangan Senandung sudah berlumuran darah, matanya menatap kosong Swara.

"Mbak, istighfar! Jangan ikuti hasutan setan, ingat Allah Mbak," Swara memeluk erat tubuh Senandung yang lemah. Dirinya ikut menangis setelah melihat apa yang terjadi dengan mata kepalanya sendiri.

"Mbak mau Kak Harsa, Ra," lirihnya.

Swara mengangguk, "aku tahu apa yang Mbak mau. Tapi kita tidak tahu keberadaan Mas Harsa sekarang. Yakin saja kalau dia pasti akan kembali. Jodoh tahu dimana takdirnya," ucapnya sambil menepuk pelan punggung Senandung.

Senandung √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang