40. Terimakasih

75 8 6
                                    

Cieee double up-_-

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENNYA

Happy Reading!!!
****

Dunia ini indah, jika dilihat dari bola dunia ataupun peta. Tapi, saat kita melihat dari diri kita, dunia ini berat, ada saja rintangannya.

Perceraianku sama dengan hari dimana Abi meninggalkan kami. Tepatnya hari ini, sudah 40 hari hidup kami tanpa Abi. Berat, namun hidup ini harus tetap berjalan.

Belakangan ini, Taraka sering menangis. Biasanya kalau Taraka nangis, Abi orang pertama yang menggendongnya. Tangisan Taraka langsung berhenti jika digendong Abi. Tapi, kali ini aku malah ikutan nangis karena merindukan Abi.

"Sena, kalau anak nangis itu di bujuk, bukan malah ikutan nangis," Buna mengambil alih Taraka. Ia menepuk tubuh mungil Taraka. Sementara aku semakin menangis, karena bayangan Abi ada di diri Buna.

"Coba keluar dulu sana. Taraka bukannya berhenti nangis malah makin menjadi," ucap Buna. Aku berusaha menghentikan tangisanku tapi tidak bisa.

"Air matanya ga mau berhenti Buna," ucapku. Ini bukan dibuat-buat, tapi memang kenyataannya.

Aku keluar menuruti ucapan Buna. Benar saja, suara tangisan Taraka langsung tidak terdengar. Aku semakin sedih, sebagai ibunya, aku belum kuat untuk menjaga Taraka.

Aku ke dapur untuk mengambil alih tugas Buna, menyiapkan sarapan. Tapi, kali ini Swara sudah lebih dulu di sana.

"Sini biar Mbak saja, Ra," ucapku yang ingin mengambil alih tugas Buna. Swara tidak menjawab, dia dengan telaten membuat nasi goreng yang menjadi menu sarapan kami setiap hari.

Setelah kepergian Abi, Swara tidak banyak bicara. Dia sangat terpuruk. Swara juga jarang pergi ke TPQ.

"Kamu siap-siap ke TPQ saja, Ra. Biar Mbak yang masak nasi gorengnya," ucapku.

"Aku saja Mbak," Swara berkata dengan pelan.

Rumah kami menjadi asing. Tidak ada lagi tawa canda seperti dulu. Kami hanya bernafas untuk melangsungkan kehidupan ini.

Aku, Swara, dan Buna langsung sarapan setelah nasi goreng sudah siap. Sementara Mas Darma, ia sudah ke sekolah pagi-pagi sekali. Tidak ada suara di meja makan, semuanya hening.

"Buna, kita quality time aja yuk, mumpung Swara ga ke TPQ. Sekalian bawa Taraka jalan-jalan. Kayanya sumpek juga dia diam di rumah terus," ujarku. Aku berusaha memecah keheningan. Namun, Buna tidak memberikan jawaban.

"Gimana menurut kamu Ra? Setuju kan hari ini kita quality time?" tanyaku pada Swara yang fokus menghabiskan nasi gorengnya.

"Aku di rumah saja Mbak," jawabnya. Suara tidak seceria dulu.

"Hari ini aja kok, Ra. Lagipula Mbak sudah ada rencana, minggu depan mau aktif lagi di TPQ. Kasihan, di sana ga ada yang urus. Mas Darma sibuk sama sekolahnya. Kamu juga jarang ke sana. Nanti biar Taraka sama Buna aja di rumah. Sekali-sekali juga nanti dia ikut ke TPQ," ucapku menyampaikan apa yang sudah aku rencanakan jauh hari. Semoga mereka membolehkan niatku ini.

"Mau kemana emangnya?" Akhirnya, Buna mengeluarkan suaranya. Aku beralih menatap Buna.

"Enaknya kemana ya? Kalau ke taman, didepan gang juga ada," aku berfikir sejenak. Ini rencana yang mendadak, walaupun belum tahu aku sudah terlanjur memaksa Buna dan Swara.

"Ya udah, ke taman depan gang saja," jawab Buna terdengar sederhana.

"Itu mah aku pergi sama Taraka aja udah bisa, Buna," ucapku terkekeh. "Gimana kalau Timezone?" usulku. Aku ga yakin Buna dan Swara setuju.

Senandung √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang