Terkadang, orang yang tidak ingin kita temui adalah orang yang selalu dikirim semesta.
~♪
2. Semesta Dan Cara Kerjanya.
Hai... Kembali lagi bersama Cici...
Semoga selalu senang, tanpa peristiwa yang membuat guncang.
~♪
Hari ini, hari pertama Dini memasuki masa abu-abunya. Setelah tiga hari dirinya menjalankan MOS. Dia akan menjadi salah satu murid di sekolah yang cukup terkenal di Desanya, SMAN Merdeka. Dia bersekolah dengan sahabatnya, Fikka, teman se-Desanya.
"Gimana siap mental nggak, sekolah di tempat yang bukan kita harapin?" tanya Dini di sela perjalanan mereka berdua. Fikka mengangguk, "Siap. Kalaupun sekolah itu bukan yang kita harapin, bukan berarti kita nggak siap. Di manapun sekolahnya, sama aja, asal pribadinya."
"Hahaha.... Kita punya keinginan, tapi orang tua punya tuntutan," balas Dini.
"Jangan salahi orang tua kita, Nun," kata akhir itu adalah panggilan untuk Dini. "Orang tua kita juga nggak mau kita sekolah di sana, tapi gimana lagi. Biayanya itu loh, kalau dipaksain juga bakalan bikin orang tua kita susah." Menurut Fikka, yang dipaksakan tidak selalu menyenangkan, terkadang juga bisa menjadi tekanan.
"Kita anak pertama, anak pertama harus selalu memaklumi keadaan orang tua, bukan?" mereka lalu tertawa, diatas montor Beat yang Dini punya. Begitulah, anak pertama bukan tumbuh dewasa bersama semesta. Tetapi, mereka dipaksa dewasa untuk memahami situasi semesta.
Dua puluh menit mereka berkelana, membelah jalanan Desa yang padat, karena hari ini hari Senin. Mereka sampai di SMAN Merdeka. Sudah ada berbagai bentuk manusia di sana dengan berbagai kendaraannya. Dini maupun Fikka saling pandang, seolah menyalurkan suara hati mereka masing-masing.
"Waduh, pulang aja udah," ajak Dini saat montor mereka berhenti di gerbang sekolah. "Orangnya glowing-glowing gitu, insecure aku."
"Mana montornya bagus-bagus lagi," tambah Fikka. Bahkan mereka tidak sadar jika di belakang mereka, juga ada montor yang menunggu.
"Masuk anjir, lo pikir sekolahan bapak lo. Berhenti seenaknya," omel pengendara motor di belakangnya.
"Matamu picek kah, jalan gede kek gini, lewat sini kan bisa," balas Dini sembari menunjuk jalanan di sampingnya.
Tidak ingin memperkeruh suasana, pengendara motor yang di belakang Dini tadi melintas, meninggalkan Dini dan Fikka yang masih setia di gerbang sekolah. Dini menatap montor tadi, Mio Soul hitam dengan jok montornya yang sedikit sobek.
"Gimana masuk sekarang?" tanya Fikka meminta pendapat.
Dini mengangguk, "Udah masuk aja, biarin mah kata mereka apa. Pura-pura tuli aja kita."
Lantas mereka melaju, menuju parkiran sekolah yang tersedia. Fikka memarkirkan montornya sama dengan montor-montor lain. Semoga dia nggak sekolah di sini juga. Mata Dini menerawang ke penjuru arah, melihat beberapa montor yang ada, dan dapat, montor Vario dengan paduan warna hitam merah. Terparkir tepat di depan montornya.
Bajingan, dia beneran sekolah di sini, batin Dini berbicara.
"Eon, lihat montor di depan kita," sembari menyenggol lengan Fikka yang berada di sampingnya. "Montornya dia nggak sih?"
Fikka mengamati montor itu dengan teliti, lalu melihat sekeliling sekolah. Fikka menyunggingkan senyumnya, setelah mendapatkan apa yang matanya inginkan, ia menyenggol lengan Dini. Lalu tangannya terangkat menunjuk ke arah kanan dari mereka berdiri, terlihat seorang laki-laki dengan seragam abu-abunya sedang melihat ke arah mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Uncrush [ Slow Update ]
FantasyRif, jika tidak bersama mu. Maka akan ku jadikan kamu tokoh utama cerita ku.