7. Yang Membantu Belum Tentu Dekat.

174 54 0
                                    

Apa yang paling senang, adalah akhir yang selalu ditunggu semua orang.

~⁠♪

7. Yang Membantu Belum Tentu Dekat.

Hai... Masih setia sama cerita ini kan? Semoga semakin suka... Aamiin.

Untuk semesta tolong berjanjilah, jika sudah kau turunkan hujan. Datangkan juga pelangi, walau hanya sekali.

~⁠

Desas desus terdengar dari mulut siswa pagi ini. Karena jam Matematika sedang berlangsung. Rumus dan angka yang bersanding, membuat beberapa kepala siswa yang tidak paham menjadi panas. Begitu juga dengan Dini, perempuan itu hanya memandang tulisan di papan tulis tanpa mengerti apa isinya.

Dini menoleh ke arah Fikka, begitupun sebaliknya. Mereka berbicara menggunakan hati mereka masing-masing.

Gue tebak, Lo nggak paham kan?

Kamu gimana? Paham?

Lo berteman sama gue berapa tahun anjir. Masa lupa. Ya jelas nggak lah

Kemudian mereka tertawa. Menertawakan pribadinya yang sulit mengerti rumus Matematika. Katanya, Matematika ilmu yang menyenangkan. Sial itu hanya berpengaruh untuk siswa yang suka. Dini sama sekali tidak tertarik dengan pelajaran itu. Dibanding Matematika Dini lebih suka pelajaran Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Kalau menurut sebagian orang, kedua pelajaran itu sangat sulit. Tidak, sulit itu ketika kita belajar memahami manusia yang tidak ingin dipahami, bercanda.

"Ini masih ada lima belas menit sebelum bel istirahat berbunyi," Pak Lutfi-Guru Matematika Dini berbicara. "Tolong kerjakan halaman dua tiga ya."

Setelahnya terdengar suara lembar buku yang dibuka. "Udah tahu belum paham, pake segala di suruh ngerjain soal sebanyak ini," kata Dini menggerutu. Fikka pun sama, dirinya juga menggerutu seperti Dini.

"Eh, minta tolong sama Aditya gih," kata Fikka kepada Dini.

"Ngapain," jawab Dini tidak setuju.

"Kita kesusahan jadi perlu bantuan," kata Fikka.

"Tahu, maksudnya kenapa harus Aditya?" tanya Dini. Pasalnya dia belum menangkap maksud dari ucapan Fikka.

"Aditya itu katanya pinter Matematika," jawab Fikka.

Dini memicingkan matanya, "Kata siapa lo?" Dini bertanya. Fikka memutar bola matanya malas, kemudian menunjuk Zahra-Teman sekelasnya yang berada di bangku belakang.

"Nggak percaya gue," Dini tetap kukuh dengan pendapatnya. "Bentukan kayak Aditya pinter Matematika."

"Nggak percaya sudah. Tapi cepetan minta tolong sama dia," pinta Fikka.

Mata Dini bergerak, mencari laki-laki itu di bangkunya. Kosong, bangku itu tidak ada yang menduduki. Kemudian tangan Dini memutar kepala Fikka ke arah bangkunya Aditya.

"Lihat sendiri, dianya aja nggak berangkat," ucap Dini setelahnya.

Mereka kemudian terdiam, memikirkan cara bagaimana untuk meminta tolong kepada Aditya. Di detik selanjutnya, mata mereka bertemu seolah menyalurkan sesuatu yang sama yang ada di pikirannya.

"Dia ikut grup kelas nggak sih?" tanya Dini. Dirinya memastikan apakah Aditya memasukkan nomornya kemarin waktu pembentukan grup kelas.

"Biasanya orang kayak Adit itu, sukanya kosongan, terus infonya pasti sibuk," jawab Fikka. Dia hanya menebak, pasalnya di kontaknya banyak orang seperti Aditya.

Uncrush [ Slow Update ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang