1. Anak Laki-lakinya Ibu Warung.

590 78 21
                                    

Jika sudah takdirnya, seleksi paling senang adalah menerima.

 ⁠~⁠♪

1. Anak Laki-lakinya Ibu Warung.

Selamat membaca reader terhormat Cici.

Kita harus bahagia, kalau nggak siapa lagi yang bertanggung jawab atas diri kita.

⁠~⁠

"Cepetan beli batagornya, panas ini," keluh seseorang perempuan di atas montor—Fikka, Fikka Putri Alena kepada sahabatnya—Dini, yang sedang memesan Batagor pada pedagang di depan sekolah barunya, sekolah yang akan menjadi saksi kisah abu-abunya. SMAN Merdeka.

Perempuan itu menoleh, mengacungkan jari tengahnya kepada perempuan tadi. "Sabar, lo pikir Bapaknya nggak goreng dulu apa," sambar Dini yang sama-sama tidak sabaran. Setelah hampir lima menit berdiri, menunggu Bapak Batagor menggoreng. Batagor pesanannya sudah matang, tangannya meraih sebungkus kantong plastik yang berisi batagor tadi.

"Berapa Pak?" tanya Dini sembari mengeluarkan uang dari kantongnya.

"Satunya lima ribu, Nok. Jadi kalau dua sepuluh ribu," tutur Bapak Slamet—penjual batagor itu. Dini mengangguk, lalu memberikan uang tadi kepada bapak batagornya. Setelah dirasa tidak ada yang kurang, ia berlalu pergi dari sana.

"Monggo Pak, saya duluan," kata Dini berpamitan.

"Ah, iya, hati-hati, Nok," jawab bapak batagor itu dengan mengayunkan tangannya.

~⁠♪

Sesampainya Dini di rumah, sekumpulan ingatan tentang sekolah barunya tadi berputar di dalam otaknya. Tentang apakah dirinya akan dapat beradaptasi dengan lingkungannya? Apakah dirinya bisa berteman dengan manusia-manusia baru? Dan apakah masa lalunya akan hadir kembali?

Sekumpulan ingatan itu tiba-tiba saja terbuyarkan karena Bundanya—Afti yang tiba-tiba memanggilnya, "Kak, Bunda minta tolong dong," kata perempuan itu dari luar kamarnya.

Dini menghembuskan nafasnya, "Bunda mau minta tolong apa?" Tangannya bergerak melepas satu-persatu kancing seragam yang ia kenakan tadi. Lalu berjalan ke lemari pakaian untuk mengganti pakaiannya menggunakan pakaian biasa.

"Eh," kaget Afti saat membuka pintu kamar Dini. Ia melihat anak perempuannya ini sedang mengganti pakaiannya, alangkah tidak sopan sekali bukan.

"Bunda..... Lain kali kalau masuk ketok dulu, ih. Kakak malu tahu," tangannya ia gunakan untuk menutupi dadanya.

"Iya maaf, maaf... Bunda nggak sopan. Bunda kira udah ganti dari tadi," kamar kecil ini menjadi tempat yang menyimpan banyak sekali kejadian, salah satunya kejadian memalukan ini. Dini ini adalah orang yang tidak suka jika badannya dilihat oleh orang lain, sekalipun itu Bundanya sendiri, yang sama-sama perempuan.

"Bunda mau minta tolong apa?" tanya Dini yang sudah selesai berganti pakaian.

Afti memberikan secarik kertas, "Bunda minta tolong beliin yang ada di kertas ini, nggak keberatan kan?"

Dini mengangguk, sembari mengambil kertas tadi, ia berucap, "Nggak, sini Dini juga lagi nggak sibuk kok."

Afti mengambil uang di kantongnya, "Nih uangnya. Kembaliannya buat Kakak aja."

Uncrush [ Slow Update ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang