4. Hadiah Photocard Dari Ayah.

247 56 6
                                    

Bentuk hadiah paling indah, adalah dari siapa kita menerimanya.

~⁠♪

4. Hadiah Photocard Dari Ayah.

Hai... Cici kembali lagi.

Ada yang bilang, katanya Ayah itu cinta pertama anak perempuannya ya. Tapi, ada juga yang bilang kalau Ayah juga luka pertama. Kalian? Bagaimana mendeskripsikan Ayah kalian?

~♪

"Assalamualaikum Bunda," suara Dini terdengar, dirinya sudah pulang dari sekolah. Merasa tidak ada jawaban, suaranya kembali terdengar. "Bunda dimana?"

Afti yang berada di dapur, berteriak membalas anak pertamanya itu. "Bunda masak, Kak."

Mendengar itu, Dini segera melepas tasnya dan menaruhnya di kursi ruang tamu. Kemudian ia berlari menghampiri Afti. Wajah datarnya yang terpancar, perlahan berubah ketika melihat sang Bunda memasak makanan kesukaannya, Soto. Wajahnya terlihat begitu sangat antusias untuk cepat-cepat memakan masakan sang Bunda.

"Bunda cepetan ya masaknya, Kakak udah lapar," ucapnya sembari mengelus-elus perutnya yang mengeluarkan suara, seolah meminta untuk di isi.

"Tumben, biasanya langsung masuk kamar sampai sore. Kenapa?" tanya Afti ketika menoleh menatap Dini dengan wajah datarnya.

"Kenapa? Emang Kakak kenapa? Ngga papa tuh," jawab Dini.

"Aduh mulutnya bau, ketara banget bohongnya. Di ajarin siapa?" tanya Afti, lagi.

"Hehehe, maafin Bunda.... Iya, Kakak lagi kesel sama temen baru Kakak." Dini menatap serius wajah sang Bunda.

"Temen baru? Siapa?"

Dini menggeleng, "Belum tahu namanya, pas itu udah Dini ajak kenalan. Eh tapi dianya malah sombong banget. Segala langsung pergi gitu aja lagi pas di ajak ngobrol, nggak sopan banget kan," wajahnya terlihat sangat serius menceritakannya kepada Afti.

Afti tertawa. "Pasti laki-laki ini, kan?"

"Seratus buat Bunda, sok ganteng banget sumpah, padahal montornya masih Mio Soul," kata Dini memperjelas.

Satu tangan Afti bergerak mengelus kepala anak perempuannya. "Kak, nggak boleh gitu mulutnya. Nggak semua orang bisa kamu gituin. Kalau nanti semisal dia denger terus sakit hati, gimana? Katanya nggak mau jadi orang jahat," ujar Afti. "Besok-besok mulutnya di jaga, boleh kok kamu kesel, marah, atau benci sekalipun sama orang. Tapi, mulutnya jangan ikut. Apalagi hati. Hati kalau udah benci bisa dendam sampai mati."

Dini diam, mengoreksi kesalahan pada ucapannya, "Iya, Bunda, maaf ya."

Afti tersenyum, "Jangan minta maaf ke Bunda, minta maaf sama temen kamu itu."

Alis Dini terangkat satu, "Caranya?"

Afti berbalik, fokus kepada Soto yang ia masak tadi, "Kalau salah Kakak biasanya ngapain?"

"Bilang maaf ke orang yang menurut Kakak, Kakak jahatin."

Sembari masih mengaduk masakannya, Afti tersenyum untuk keberapa kalinya, "Itu udah tahu, udah dewasa kan? Orang dewasa nggak malu buat bilang maaf ke orang yang menurutnya sudah ia jahatin, walaupun orang itu juga jahat padanya."

Dini mengangguk paham, meskipun keluarganya ini sederhana. Tetapi kedua orang tuanya akan sangat menuntut anak-anaknya jika mereka melakukan sesuatu yang menurutnya salah. Terdengar naif memang bagi beberapa orang, tetapi itu adalah salah satu bentuk tanggung jawab mereka sebagai orang tua. Meminta maaf walau tidak salah, mengakui kesalahannya jika salah. Itu adalah konsep sederhana yang orang tuanya tanam sejak Dini kecil.

Uncrush [ Slow Update ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang