9. Sepatu Bertali Hijau Di Dunia Semu.

150 47 7
                                    

Mau siapa saja yang datang, jika waktunya salah. Pasti sulit menerimanya.

 ⁠~⁠♪

9. Sepatu Bertali Hijau Di Dunia Semu.

Hai.... Gimana? Masih di sini kan?

Semoga suka... Aamiin...

~⁠

Dini menepati janjinya kepada Aditya. Sekarang dia sedang menunggu Aditya menjemputnya, entah akan di bawa kemana dirinya sore ini. Yang pasti tadi Aditya berkata, dirinya akan membawanya ke tempat yang akan menjadi favoritnya setelah ini.

"Nungguin siapa, lo?" tanya Rifai yang tiba-tiba muncul di halaman rumahnya. "Cantik begini... Janjian sama siapa? Cowok?" Rifai menanyakan pertanyaan beruntun kepada Dini yang duduk diam di kursi.

Dini menatap Rifai yang dengan lancang mendudukkan tubuhnya, padahal Dini belum mempersilahkan laki-laki itu untuk duduk. Emang nggak punya sopan ni Zombie Jelek, maki Dini dalam hatinya. Sedangkan Rifai acuh dengan tatapan tidak suka yang diberikan Dini kepadanya.

"Minimal kalau tuan rumah belum nyuruh duduk tuh, jangan duduk dulu lah. Nggak ngerti sopan lo?" Dini bertanya. Perempuan itu menutup novel yang tadi dirinya baca saat menunggu Aditya yang belum datang.

Rifai mengangkat bahunya acuh, "Ini rumah Bunda gue. Jadi ya terserah gue lah." Rifai menyilangkan kedua kakinya lalu menyenderkan punggungnya pada senderan kursi yang ia duduki.

"Dih udah nggak tahu sopan, berlagak jadi Raja lo di rumah gue?" dengan nada tinggi Dini berucap. Bermaksud menyindir laki-laki disampingnya itu.

Rifai menatap perempuan disampingnya, "Bukan berlagak kayak Raja, tapi gue emang Raja kan?" ucap Rifai dengan kepedean dirinya.

Dini menatap Rifai tidak suka. Ini antara nggak punya kaca atau dia emang gila, lagi, Dini kembali memaki Rifai dalam hati. Menurutnya, laki-laki di sampingnya ini terlalu mengasah rasa kepercayaan dirinya. Bagaimana bisa ada orang hidup dengan rasa kepercayaan dirinya yang sangat tinggi. Bukannya ingin membuat Rifai kehilangan rasa percaya dirinya, tetapi rasa percaya diri yang berlebihan juga akan menyakitkan.

"Dih, pede banget, anjir," jawab Dini. Perempuan itu hendak berdiri meninggalkan Rifai sendirian di teras.

"Mau kemana, Mak Lampir? Kok gue di tinggal sendirian," Rifai ikut berdiri, kemudian menahan tangan Dini. "Lo nggak sopan banget, punya tamu ganteng begini di tinggal sendiri."

Dini menghempaskan tangan Rifai, "Nggak usah pegang-pegang tangan berharga gue lo, Zom," tangannya bergerak mengusap-usap halus. "Tangan lo banyak kumannya, bisa kena jangkit gue." Kemudian Dini memundurkan tubuhnya, seakan menjaga jarak dengan Rifai.

"Ya elah gitu doang juga," ucap Rifai. Di detik setelahnya, laki-laki itu diam dengan wajah tengilnya. Tangannya bertengger di hidungnya, memasukkannya, lalu mencari sesuatu yang ada di dalamnya. Dini menatap wajah Rifai yang menurutnya sangat aneh. Perempuan itu mengambil ancang-ancang untuk menghindar sebelum kejadian yang bersarang di kepala itu benar terjadi.

"Upil gue nih, banyak kumannya."

Rifai mengusapkan sesuatu yang dia dapat dari dalam hidungnya ke lengan Dini. Yang jelas membuat Dini naik pitam karena ulah Rifai itu. Sia-sia sudah dirinya mengambil ancang-ancang untuk menghindar. Sial, Dini sudah ternodai dengan upil yang banyak kumannya. Terlebih upil itu milik Rifai—Musuh bebuyutan Dini.

Uncrush [ Slow Update ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang