20. Tahun Jatuh Cinta Dini.

109 13 3
                                    

Katanya jangan jatuh cinta di tahun 2022. Atau kamu akan kehilangan cara untuk mencintai seseorang setelahnya.

 ⁠~⁠♪

20. Tahun Jatuh Cinta Dini.

Kalian bagaimana sudah jatuh cinta? Tahun berapa kalian memulainya? Pastinya harus dengan seseorang yang cintanya sama-sama setara dengan kalian juga.

Selamat membaca kisahnya kembali Sayang-sayangnya Cici.

~⁠

Kenaikan kelas semester genap adalah salah satu ketakutan untuk beberapa orang. Setelah melaksanakan ujian semester genap kemarin, hari ini SMANKA mengundang semua wali murid untuk mengambil hasil belajar anak mereka.

"Jam berapa ngambil rapotnya, Kak?" tanya Afti. Perempuan berumur tiga puluh sembilan itu sedang berdiri di depan pintu kamar Dini.

"JAM SEMBILAN AJA, BUNDA!!" teriaknya lantang dari dalam kamar.

Perempuan yang sedang sibuk memilih pakaiannya untuk hari ini mengeluarkan semua pakaiannya yang ada di dalam lemarinya. Masalah dia dimarahi oleh sang Bunda, itu urusan belakangan. Tangannya sibuk memadukan beberapa potong pakaian. Dia melihat pantulan dirinya dalam kaca, dengan tangannya yang memegang potongan pakaian tadi, merasa jika tidak cocok maka ia berganti dengan pakaiannya yang lain.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Dini dengan pakaian yang menurutnya sudah pantas turun untuk menemui Bundanya. Saat sampai di ruang tamu, Dini melihat sang Bunda dari atas hingga bawah. Keduanya saling bertukar pandang, kemudian Dini tersenyum. Mengajak sang Bunda untuk ke sekolahnya benar-benar ide yang baik.

"Eh samaan kita," kata Dini saat melihat pakaian Afti.

"Kita kan kembar, jadi instingnya kuat." Lalu, keduanya tertawa. "Ya sudah, ayo kembaran kita berangkat."

"Let's go..." Dini kemudian menggenggam tangan Afti untuk melangkah keluar bersama.

⁠~⁠♪

Ibuk❤️: Buk, hari ini Mas ambil rapot. Siapa yang mau ngambilin?

Tidak ada jawaban dari pesan itu, padahal sudah terbaca oleh penerima. Rifai merasa semesta terlalu banyak memberi ujiannya. Bukan seperti ini, Tuhan. Bukan seperti ini ujiannya. Tangannya bergerak memasukkan ponselnya ke dalam saku jaketnya. Sepertinya hari ini, Rifai akan mengambil rapotnya sendiri tanpa Bapak atau Ibunya.

"Keren banget kan gue semesta," ucap Rifai. "Buat apa gue punya orang tua, tapi gue kehilangan perannya. Lo pikir gue bisa ngedepin ini sendirian? Lo bener-bener nggak waras. Lo denger nggak apa yang gue ucapin." Laki-laki itu menarik napasnya dalam, kemudian berteriak. "LO BAJINGAN SEMESTA. LO BENERAN JAHAT BANGET!"

Rifai menatap kembali ponselnya. Berharap jika sang Ibu membalas pesannya tadi. Sepertinya Ibu sedang sibuk melayani pembeli yang berbelanja di warungnya, hanya sempat membaca pesannya saja, tidak dengan membalasnya.

Di tempat lain, Dini sudah sampai di sekolahnya bersama sang Bunda. Sembari menunggu Dini memarkirkan montornya, Afti melihat sekeliling yang menjadi pilihan anak perempuannya itu.

"Ternyata bangga sekali rasanya, dapat menyekolahkan anak sampai jenjang ini," ucap Afti. "Walaupun dulu saya tidak sampai jenjang ini. Tapi, Tuhan. Terimakasih untuk jalannya. Anak hamba dapat merasakan masa putih abu-abunya." Matanya menerawang bangunan-bangunan bercat biru bercampur putih itu. Dulu dirinya sangat kecewa dengan sang Ibu yang tidak menyekolahkannya sampai masa putih abu-abunya. Tapi, melihat Dini yang sedang memasuki era itu benar-benar memberi kebahagiaan pada dirinya.

Uncrush [ Slow Update ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang