6. Akhirnya Nama Itu Sudah Tidak Menjadi Misteri.

184 52 3
                                    

Semoga setelah ini, kita selalu hidup dalam lingkup yang bahagia.

~⁠♪

6. Akhirnya Nama Itu Sudah Tidak Menjadi Misteri.

Hallo kalian apa kabar?

Di kehidupan yang penuh dengan kejutan ini, alangkah baiknya kita memulai hari dengan sarapan.

Oke... Selamat membaca kembali.

~⁠

Tiga hari setelah kejadian Dini dan Rifai di warung Budhe Nur. Dini tidak akan pergi jika Bunda atau siapapun menyuruh dirinya. Ia sudah menceritakan kejadian itu kepada keluarganya, tetapi, mereka—Keluarga Dini malah menyalahkannya. Katanya, salah sendiri punya kesabarannya dikit.

"Sumpah," Dini berteriak. "Apaan kok malah gue yang di salahin, orang jelas-jelas tu Zombie jelek yang salah." Kata Dini.

Sekarang Dini sedang berada di sebuah persawahan pedesaannya. Setiap sore, dirinya akan selalu di sini, sembari mendengarkan musik dan membaca novel yang ia bawa.

Dini tidak sendirian, di sana banyak sekali manusia yang singgah. Entah untuk menenangkan dirinya, atau hanya sekedar menikmati keindahan semesta di sore harinya. Dengan sinar matahari yang mulai dengan warna merah bercampur jingga, yang ditutupi dengan awan-awan disampingnya.

Setelah menemukan musik yang sesuai dengan moodnya. Dini kemudian membuka novelnya untuk dia baca. Lembar ke lembar, halaman ke halaman. Mata Dini tidak lepas dari kalimat dalam novel itu.

Tiga puluh menit dengan lagu yang berbeda, Dini sampai pada halaman seratus dua puluh tujuh. Tepat ketika tangannya ingin membuka lembar selanjutnya, telinga Dini dikejutkan dengan suara manusia yang tak asing untuk Dini dengar.

"Sendirian aja?" suara itu menyapa. "Gue temenin, nggak takut apa kalau ada yang godain?" Kepala Dini tertoleh melihat dengan jelas siapa pemilik suara itu. Setelah ia tahu, Dini menutup novel yang ada ditangannya, kemudian dirinya bangkit, mensejajarkan tubuhnya dengan laki-laki itu.

"Ngapain lo disini?" kata Dini sedikit berteriak, sampai ada beberapa mata yang menoleh ke arahnya.

Rifai—Laki-laki tadi tersenyum, menampakkan giginya, "Tempat yang lo datengin ini itu tempat umum. Jadi kenapa lo nanya kayak gitu?" kata Rifai.

"Ya maksud gue, dari banyaknya tempat umum kenapa lo harus kesini?" tanya Dini sekali lagi.

"Gue sering ke sini kok," Rifai kemudian mengangkat tangan telunjuknya, menunjuk gubuk yang berada di kiri Dini duduk tadi. "Gue juga sering liat lo, duduk di sini sendirian lagi. Jahat banget cowok lo, ngebiarin ceweknya duduk sendirian disini."

Dini diam tak membalas perkataan Rifai. Dia kembali menarik fokusnya pada novel yang ada ditangannya. Telinganya pun ia fokuskan untuk mendengarkan musik yang terputar.

Merasa bahwa dirinya sedang tidak diperhatikan, Rifai kemudian ikut duduk, di samping Dini yang fokus dengan dunianya. Mata laki-laki itu terarah pada tumbuhan putri malu yang ada di depannya. Tak lama tangannya bergerak memegang satu persatu tumbuhan itu. Gelak tawa kemudian terdengar, mengalihkan fokus Dini sesaat. Matanya bergerak melihat Rifai yang tertawa lebar hanya dengan hal kecil seperti itu. Kok ngeliat lo ketawa kayak gini, bikin hati gue adem sih.

Uncrush [ Slow Update ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang