11. Permulaan Rasa Untuk Seorang Manusia.

143 44 11
                                    

Rasanya untuk menerima rasa tanpa persiapan itu, amat sangat mendesak.

 ⁠~⁠♪

11. Permulaan Rasa Untuk Seorang Manusia.

Annyeong.... Kembali lagi bersama Cici...

Bagaimana, sudah ingin menyerah atau masih punya niat untuk tidak lelah? Semoga kita, aku dan kamu selalu bahagia.

Masih suka kan? Semoga iya...

 ⁠~⁠♪

Sepertinya, jika memang sudah di siapkan Tuhan, cepat atau lambat. Kita harus menerimanya dengan senang.

"Bunda..." Suara Dini pada malam itu terdengar, dengan posisi Afti yang duduk di atas kasurnya. Mungkin malam ini, Dini akan menceritakan tentang laki-laki yang dia temui dari mimpinya.

"Apa?" tanya Afti sembari membenarkan selimut yang menutupi tubuh Dini.

"Tiga hari yang lalu, Kakak mimpi aneh. Di mimpi Kakak, Kakak ketemu sama laki-laki, tapi wajahnya nggak jelas. Yang jelas cuman tali sepatunya doang, warnanya hijau menyala. Habis itu selesai mimpinya," setelah bergulat dengan pikirannya, perempuan itu akhirnya menceritakan mimpinya kepada sang Bunda. Pikirnya tidak usah di ceritakan, tetapi nyatanya mimpi itu menyita ruang di otaknya. "Aslinya Kakak nggak mau cerita ini, Bunda. Cuman pas Kakak pendem sendiri mimpi itu selalu mendesak Kakak untuk cerita," kata Dini. Mimpi yang sepele, tapi selalu mendesak untuk dikeluarkan.

Afti terdiam sejenak, matanya menatap netra Dini, "Bunda belum tahu mau jawab apa." Dini yang mengalaminya saja bingung dengan maksud di dalamnya, apalagi Afti. Rasanya dia ingin mengatakan kepada Dini bahwa mimpi itu tidak berarti apa-apa jadi tidak perlu memaksa untuk memikirkannya.

"Kakak pernah baca, katanya, ada seseorang yang pernah ketemu jodohnya di dalam mimpinya. Apa mungkin laki-laki itu jodoh Kakak?" tanya Dini. "Menurut Bunda gimana?"

Afti mengubah posisinya untuk mengusap rambut anak perempuannya itu, menurutnya, usia Dini masih terlalu dini untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Mimpi yang kerap mencuri perhatian milik manusia, padahal mimpi itu belum tentu terjadi di dunia nyatanya.

"Nggak usah dipikirin, mimpi kan cuman pemanis tidur," ucap Afti.

Ucapan Afti ada benarnya. Kepala Dini menyorot sesuatu yang hanya dia ketahui dari artikel yang tidak sengaja dirinya baca. Mimpi itu sederhana, tapi selalu serius dia pikirkan. Ini hanya tentang pemikiran dangkalnya, harusnya dia tidak terlalu mengambil dan memikirkannya.

"Tapi, Bunda, Kakak kayaknya udah jatuh sama laki-laki itu," kata Dini dengan suara pelan.

"Jatuh? Jatuh perasaannya?" tanya Afti, dan Dini mengangguk. "Kak, terlalu naif kamu bisa secepat itu jatuh tanpa tahu siapa yang kamu taruh. Kakak tidur, ya. Besok kan sekolah," satu tangan Afti bergerak ke atas kepala Dini, mengelus pelan rambut anak perempuannya itu. "Kamu cuman penasaran sama laki-laki itu doang, Kak. Kamu belum jatuh, apalagi cinta sama dia. Penasaran kamu itu yang ngundang kamu, supaya kamu bilang kalau kamu udah jatuh sama dia. Jadi, kamu jangan mudah bicara. Antara jatuh sama cinta itu masih lama episodenya."

 ⁠~⁠♪

Dini melangkahkan kakinya, menuju aula sekolahannya. Dia berangkat sendirian karena Fikka berangkat bersama dengan Ayahnya. Matanya menatap sekeliling lingkungan sekolahnya, masih sepi banget rasanya. Manusia dengan kemalasannya di hari Senin, malas karena harus selalu punya energi yang lebih untuk menghadapi kejutan dari semesta.

Uncrush [ Slow Update ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang