22. Kejutan Kecil dari Semesta.

64 8 8
                                    

Syarat kabar bahagia, adalah jika kita juga ikut merasakannya.

~⁠♪

22. Kejutan Kecil dari Semesta.

Haii... Bagaimana kabar kalian semua? Masih selalu senang? Masih tenang kan?

Selamat membaca kisahnya Sayang-sayangnya Cici 🙌🙌.

~⁠♪

Kelas Dini pagi ini sedang kosong. Ada beberapa murid yang memilih keluar dan berkumpul di teras kelas. Tapi ada juga yang memilih menetap di dalamnya. Termasuk dua perempuan yang matanya sibuk menatap ponsel masing-masing.

"Mau jajan nggak kamu?" tanya Fikka pada Dini.

"Mau aslinya gue," jawab Dini. "Tapi kantinnya itu loh kek Seokjin. Sama-sama jauh untuk di gapai. Sumpah, yang kasih ide kelas di pojok tuh siapa sih. Ngerepotin orang banget rasanya."

"Yang mau ngajak jajan tuh siapa? Orang aku mau nawarin ini," ucap Fikka sembari mengeluarkan sebungkus Basreng yang ia bawa dari rumah.

"Anjir bawa Basreng sekilo, Cok," ucap salah satu teman sekelas Dini.

"Dih ngikut nimbrung lo," sewot Dini. "Nggak ada sopan santunnya jadi orang." Dini menatap wajah temannya. Mata mereka berdua bertemu. Temannya ini adalah laki-laki yang kemarin dia temui di gerbang sekolah.

"Ya udah sih. Nggak terima. Sini by one dek," ucapnya.

Dini meletakkan ponselnya setelah mendengar ucapan dari laki-laki itu. Dia menggulung lengan kemejanya dengan sedikit matanya yang melotot, menatap tidak suka terhadap laki-laki tadi. Dia benar-benar tidak bisa, perempuan itu harus mengajak laki-laki itu bertengkar sekarang juga.

"Sini lo, maju. Kita by one di depan," kata Dini pada laki-laki itu. Terlihat laki-laki itu berjalan menghampiri Dini, namun kerah belakangnya di tarik seseorang. "Nggak usah kayak anak kecil," ucap laki-laki dengan masker yang menutupi setengah wajahnya itu. Dia menarik temannya untuk duduk tenang di sampingnya. Sama halnya, Dini juga di tarik oleh Fikka, supaya tidak memperkeruh suasana kelas.

~⁠♪

Bogor kini sedang memeluknya, menyadarkan jika tidak semua manusia disini dapat dia samakan dengan manusia yang dia temui di Semarang. Sedikit menyibukkan dirinya untuk melupakan apa yang menyakitinya. Hampir seminggu laki-laki itu di Bogor, tanpa memberitahu perempuannya yang sedang mengkhawatirkannya.

Kebun Raya Bogor jadi tempat bersinggah Azli sekarang. Sendirian dan kesepian, sejak tiga puluh menit yang lalu, laki-laki itu duduk di bangku yang tersedia. Kepalanya sedang penuh dengan beberapa suara.

"Kenapa jadi begini sih?" tanya Azli. Kepalanya tertunduk, melihat rumput yang sudah mulai memanjang. "Kenapa seneng banget ngilang," ucapnya. "Lo tuh laki-laki, Az. Laki-laki itu nggak lari dari masalahnya."

Ponsel Azli bergetar pertanda jika benda itu sedang menerima panggilan. Azli menarik benda itu, melihat nama dari sang pemanggil yang masuk. "Ni cewek beneran nggak capek apa sama gue?" Azli membiarkan cukup lama suara itu hingga akhirnya ponsel itu memilih untuk diam dengan sendirinya. Untuk saat ini Azli sedang mendapat lemahnya, laki-laki itu tidak ingin membaginya, bahkan kepada Mega yang berstatus perempuannya. "Gue nggak boleh kasih beban ini ke dia, dia nggak boleh tahu. Mega udah banyak berisiknya." Azli kemudian memilih untuk menonaktifkan ponselnya itu, agar dia mendapatkan tenangnya disini.

Kota hujan di mana tubuh Azli berada, ramai dengan pengunjung yang singgah di sana. Banyak orang yang berlalu-lalang. Tempat yang Azli tahu, bahwa di sini, lukanya akan sedikit merenggang walaupun hanya sebentar.

"Kalau kayak gini, kenapa harus lo sih Din yang ada dipikiran gue." Tangannya Azli bergerak memukul kepalanya saat pusing menerpanya. Perlahan, tubuh ringkih itu bersandar pada kursi. Untuk sekarang, perlu sedikit tenang dan seseorang yang punya kesamaan.

"Azli bukan?"

Azli menoleh, menatap wajah pemilik suara itu. Wajah laki-laki itu terkejut. Sama kagetnya dengan pemilik suara tadi. Azli mengerjapkan matanya, benar-benar tidak terbayang akan ada perempuan yang sedang memenuhi seluruh pikirannya, berdiri tepat di depannya.

"Az, lo ngapain di sini?" tanya Dini. "Kemarin si Mega ngechat gue, nanyain lo," kata Dini memberitahu. Sebenarnya setelah mendapatkan pesan dari Senja, Dini sudah tahu jika Azli sedang lari dari masalahnya. Dulu laki-laki itu sering seperti ini, menghilang tanpa kabar, bahkan sampai berbulan-bulan. Yang Dini takutkan sekarang terjadi lagi. Azli dan cara kerjanya. Laki-laki itu selalu berlaku dengan senangnya.

"Ngapain di sini, Cil?"

Dini tersenyum, kemudian mengisi ruang kosong di samping Azli. "Masih sama ternyata. Sama-sama pengecut."

"Maksudnya?" tanya Azli.

Dini menatap sang mantan dalam. "Ternyata lo masih Azli yang sama. Sama-sama pengecut, sama-sama nggak berani ngadepin masalah." Perempuan itu kemudian mengalihkan pandangannya, menatap jalanan yang ramai di depannya. Dalam diamnya, Dini teringat Azli yang tiba-tiba menghilang tanpa memberitahunya.

"Kalau gue berubah, gue bakalan kehilangan kenangan sama lo dong, Cil," ucap Azli.

Dini tersenyum kecil. Kembali dia pandang laki-laki itu. Bahkan setelah asing dalam masa yang lama. Pemenangnya masih orang lama.

~⁠♪

Huft... Hai-hai. Apa kabar kalian?

Maaf Cici baru selesai untuk bab ini. Jujur selain Cici malas, Cici juga kehilangan alur ceritanya.

Kalian janji ya? Tunggu Cici sampai Epilog, oke?

Selamat membaca, Sayang-sayangnya Cici 🙌 🙌.

Uncrush [ Slow Update ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang