001 : AWAL

161 13 1
                                    

Nafas lelaki berpakaian selayaknya seorang lelaki yang berasal dari tanah Jawa itu terengah setelah melarikan diri dari kejaran manusia-manusia yang menginginkan satu hal darinya, bibirnya merapalkan mantra seakan tak ingin jika para warga mengetahui keberadaannya.

"Tidak akan saya biarkan kurambik harimau ini jatuh ke tangan mereka," lirihnya dengan nafas tersengal-sengal dan kembali terdengar suara warga lereng gunung Salak yang mencari keberadaannya, ia cepat-cepat mencari tempat yang aman, naasnya hanya ada dua pilihan di depannya kini.

Jurang dalam itu, atau menyerahkan diri kepada warga yang mengejarnya kini. "Serahkan kurambik harimau itu, Datuak!"

Lelaki itu nampak merapalkan setiap kata yang aneh dan tidak diketahui oleh orang-orang ini. "Cepat sergap dia!" titah seorang lelaki membuat orang-orang yang tadinya diam kini bertindak agresif.

Sayang nasib seorang pahlawan yang harus gugur di tangan orang-orang bawahan lelaki berparas tinggi dengan warna kulit sawo matang itu, dan sebelum kematiannya membuat banyak dari mereka yang tertawa puas karena mendengar sumpah darinya.

"Ing sawijining dina bakal ana turunan kapitu kang bakal njejegake kaadilan ing tanah Jawa lan Sumatra, bakal males sakehing tumindak ana ing gunung Salak. Lan bakal nyirnakake sakehing turunmu kang ala, kang isih urip. Kene, ing ngendi aku ngadeg, padha bakal lair mengko. Kabeh bakal mati, ala lan becik bakal katon padha ing mangsa ngarep lan bakal mati bebarengan."

Disaat kematiannya sebuah petir menyambar tepat di tempat tidak jauh dari keberadaan orang-orang yang menusuk, mencabik, bahkan memakan hidup-hidup bagian tubuh lelaki itu, kurambik harimau itu jatuh tepat di tangan yang salah, tangan orang-orang yang merasa benar. "Saya akan berkuasa nantinya!" tawa jahat menggelegar dibarengi suara petir yang menyambar di segala arah membuat keadaan semakin mencekam.












—🌒🌓🌔🌕🌖🌗🌘—











"Datuak!" Jihoon menerjapkan matanya nampak terpaku menatap cermin yang terpajang tepat di depan tempat tidurnya dengan sebuah benda yang tergantung di sana.

Mimpi itu kembali datang setelah beberapa hari ia tidak memimpikan hal apapun, mimpi itu selalu datang setiap hari setelah ulang tahunnya ke-17, tepat 4 tahun telah berlalu dan terhitung ia tidak memimpikannya hanya 4 hari, setelahnya ia selalu memimpikan kejadian dibawah naungan gunung dengan sebutan Gunung Salak itu.

Jihoon mengacak rambutnya frustasi, pertanyaannya siapa yang tidak frustasi jika mimpi yang sama terus datang selama 4 tahun berturut-turut, "sialan, gue capek," desis Jihoon membiarkan tubuhnya kembali tertidur di atas ranjang kasur yang begitu lembut.

Tak berselang lama ponselnya berdering nyaring membuatnya kesal dan jengkel dibuatnya, dilihatnya alarm ponselnya dan dimatikan dengan mudah olehnya tapi netranya tertuju kepada sebuah kotak pesan yang berada di notifikasi paling atas pada ponselnya.

Jihoon menyeritkan alisnya keheranan dan kemudian melihat tanggal berapakah sekarang, "28 September— Jeongwoo!" ia teringat adik kecilnya itu, dan segera melompat dari atas ranjangnya segera berlari menuju dapur rumahnya.

'tok tok tok'

'tok tok tok'

'tok tok tok—'

"Apasih bang—" kedua bola mata Jeongwoo membola sempurna melihat keberadaan Jihoon dengan sebuah kue di tangannya, dua buah lilin yang terlihat dengan nomor 17 menandakan jika hari ini adalah ulang tahun Jeongwoo ke-17.

CINDAKU : THE SEVENTH GENERATION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang