Setelah melihat-lihat Jeongwoo menyadari jika sepertinya tempat ini membuatnya cukup tenang, entah atmosfer yang sangat bersahabat atau apalah itu ia seperti merasa aman disini, "Ghe," panggil Jeongwoo, Ghea menoleh dengan panggilan itu, "di belakang sana, ada apa? Kenapa pintu itu dikunci?" tanya Jeongwoo.
Ghea diam kemudian menghela nafas lirih, "itu pawonan, nenek dibunuh Fela disana, dan gue sampai sekarang masih belum berani buat masuk lagi ke sana, lo mau coba liat?" tanya Ghea.
"Lo ga apa-apa?" tanya Jeongwoo sedikit ragu jika Ghea masih terbawa dengan kenangan buruk itu.
"Ga apa-apa, lagipula udah saatnya gue harus nge-ikhlasin nenek," lirih Ghea mencari kunci yang tepat di laci di dalam kamarnya dulu, ia menemukannya dan segera berjalan menuju pintu itu, disampingnya ada Jeongwoo yang penasaran juga dengan rumah itu.
Kunci terbuka, dan Ghea menghela nafas lirih, "nek, aku pulang," lirih Ghea sebelum membuka pintu itu, ia membukanya dan terlihat jika tempat itu masih sangat rapih, tangga menurun itu terlihat membuat Ghea tersenyum tipis, Jeongwoo dan Ghea turun dari sana dan melihat dapur itu, Ghea mengingat tepat, ditempatnya ia berpijak kinilah neneknya dulu terbaring dengan Fela yang menyerap seluruh energi serta membunuhnya di hadapan Ghea sendiri.
Ghea diam di tempatnya seraya berpikir, bagaimana jika neneknya masih ada disana, mungkin beliau masih gemar untuk memasak diatas tungku disana, dalam sekelebat pikiran Ghea, Ghea terkejut kala merasakan ada sesuatu yang melewati belakang kakinya, reflek Ghea adalah melihat ke bawah dan ia terkejut melihatnya, Jeongwoo menyadari ada sesuatu yang berbeda, ia mengikuti arah tatapan Ghea, Jeongwoo tersenyum.
Rupanya arwah harimau nenek, belum bisa pergi dari Ghea karena janjinya untuk melindungi, Jeongwoo dapat mengetahui itu semua dengan bertatapan melihat netra kuning oranye aura harimau yang berjalan meninggalkan Ghea itu seakan menyapa Jeongwoo dan Ghea untuk yang terakhir kalinya.
Entah bagaimana Ghea bisa mengetahui jika itu nenek yang dulu merawatnya, "nek.." panggilnya, air matanya tak dapat dibendung, rasanya sakit untuk menalar keadaan yang seperti ini.
Aura harimau itu tadi digantikan dengan aura seorang wanita tua yang terlihat seperti seorang nenek yang nyatanya beliaulah yang telah menjaga Ghea selama ini, "Ghea ingatlah ucapan nenek dulu, kini banyak orang baik di sekelilingmu, sudah saatnya nenek kembali ke rengkuhan alam."
Ucapan itu terdengar oleh Ghea dan Jeongwoo, Ghea tak kuasa menahan tangisannya, Jeongwoo membungkuk hormat kepada arwah nenek tersebut, "terimakasih telah menjaga Ghea selama ini," lirih Jeongwoo.
Nenek itu tersenyum, "tetap jadilah ksatria yang menegakkan kebenaran diatas segalanya, saya pamit."
"Terimakasih, terimakasih, nek," lirih Ghea mengusap kasar wajahnya dan tersenyum, perlahan arwah nenek tersebut menghilang mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala, angin semilir menyapa keduanya dari sana untuk menuju kepada angin sebenarnya yang akan pergi tanpa tau arah untuk menyatu bersama alam.
—🌒🌓🌔🌕🌖🌗🌘-—
"Hati-hati," ucap Jeongwoo setelah Ghea menaiki motornya dan hendak pergi dari sana, Ghea mengangguk kecil sebagai jawaban, Ghea menarik gas motornya dan melaju meninggalkan kawasan rumah lama nenek itu, Jeongwoo menoleh kepada rumah itu ia tersenyum tipis sebelum melesat pergi dari sana.
Jeongwoo tidak benar-benar meninggalkan Ghea, tapi ia mengikuti Ghea dengan melesat, entahlah kenapa ia melakukan hal ini, tapi ia masih khawatir mengenai Fela dan orang-orang yang sempat hidup di sekitar Ghea.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINDAKU : THE SEVENTH GENERATION
Fanfiction"Urip Iku Urup." Semua yang hidup pasti berguna, dan semua yang terjadi pasti ada hikmahnya, tak terkecuali takdir tak terduga yang dialami tiga bersaudara yang selalu mendapatkan takdir membingungkan. Mereka yang terlahir memiliki tugas, mereka ya...