[Now music plays; Di Akhir Perang by Nadin Amizah]
—🌒🌓🌔🌕🌖🌗🌘—
"Sial kita kalah jumlah," desis seseorang membuat Jeongwoo menoleh padanya.
"Jangan pernah berkata seperti itu, kita lebih kuat dari apa yang kau bayangkan!" ucap Jeongwoo yang tengah meladeni dua orang yang menyerangnya menggunakan senjata yang sama.
Suara pedang besi yang saling bertabrakan menciptakan suara nyaring yang bahkan siapapun akan mengenangnya sebagai kenangan buruk. Pasukan dari Mahligai yang dipimpin oleh Jihoon dan Arum berperang dengan begitu berani melawan para pengkhianat yang kini mulai menunjukkan eksistensi mereka.
Jihoon di depan sana nampak masih mengandalkan pedangnya. Bahkan pada sore hari pihak lawan sudah menghujani mereka dengan anak panah, tak mau ketinggalan pemanah handal Mahligai Indurasmi juga turut serta ada disana dan menargetkan pada orang-orang yang menurut mereka perlu dibunuh, tapi sayangnya banyak yang lengah hingga nyaris gugur.
Seperti tidak ada habisnya mereka semakin brutal menghajar para Arjuna dan Srikandi yang berada di depan sana. Hal itu membuat Ksatria di belakangnya harus membantu untuk membunuh mereka yang menyerangnya.
Suasana yang kian gelap dan menakutkan itu tidak menyurutkan semangat dan rasa percaya mereka yang berada di garda terdepan. Meskipun terkepung berkali-kali, dihujani anak panah berkali-kali, tapi yang jelas mereka selalu berjuang hingga titik darah penghabisan.
Efek dino rogo tanpo nyowo berada di puncaknya pada tengah malam ini dan membuat banyak dari mereka yang terkapar dan mulai banyak pula yang gugur dalam medan tempur.
Meskipun suasana mereda dalam sesaat tapi setelahnya menjadi lebih ganas dan liar. Dini hari yang menyerbu mereka membuat semakin banyak saja yang gugur. Suara gemuruh hujan diantara perang itu terdengar syahdu ditambah suasana menyedihkan itu membuat perasaan semakin kalut. Apakah mereka bisa untuk memenangkannya?
Suara langkah kuda yang membuat beberapa dari mereka tau jika sedikit bala bantuan dari mahligai telah tiba. Hujan deras ditambah dengan hujan anak panah membuat siapapun pasti takut dengan adanya perang. Sebuah anak panah yang melesat membunuh seseorang dari pihak lawan yang berada di area paling belakang itu membuat lawan semakin mengganas.
Jeongwoo mendapatkan dua orang yang menyerangnya dengan cara yang tidak adil, kekuatan mereka bahkan jika dirasa cukup tinggi dibandingkan Jeongwoo. Sebuah anak panah kembali melesat tepat ke seseorang yang melawan Jeongwoo disana, dan ini membuat Jeongwoo dimudahkan ia menebas kepala lelaki yang telah tertusuk anak panah, dan tubuhnya nyaris terbagi menjadi dua jika ia tidak berguling di tanah dan sebuah anak panah itu tidak menembus jantung lelaki itu.
Jeongwoo menoleh pada arah anak panah yang selalu tepat menancap itu, arahnya di belakang sana, ia melihat seseorang yang menunggangi kuda dengan pakaian serba hitam dan wajah yang tertutup syal hitam, tak berselang lama angin meniup kencang syal itu hingga terjatuh ke tanah dilihatnya wajah yang selalu membuatnya lebih baik. "Ghea," bisik Jeongwoo, dan sepersekian detik setelahnya Ghea menatap pada Jeongwoo.
Ghea mengkodenya untuk menyelinap ke tengah pasukan. Dan Jeongwoo menuruti kodenya dengan menyelinap cepat diantara para pasukan. Pasukan lawan terkejut ketika sebuah pedang menebas tubuh mereka dan tepat di saat hujan mulai mereda anak panah berbentuk unik itu menghujani wilayah lawan.
Bukan, ini bukan lagi anak panah biasa, ini anak panah beserta sihir. Melihat peluang itu Jihoon beralih menggunakan kurambik harimau yang selalu dijaganya. "Musnahlah kalian dalam kehidupan ini," desis Jihoon membuat sayatan besar pada tubuh tiap-tiap lawannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINDAKU : THE SEVENTH GENERATION
Hayran Kurgu"Urip Iku Urup." Semua yang hidup pasti berguna, dan semua yang terjadi pasti ada hikmahnya, tak terkecuali takdir tak terduga yang dialami tiga bersaudara yang selalu mendapatkan takdir membingungkan. Mereka yang terlahir memiliki tugas, mereka ya...